Oleh Makhruzi Rahman *)
Toddlers and young children are raised by their mothers and fathers. The mother and father live in a settlement or village. A village is part of a country. The child, father, and mother are citizens. A country is a home for all of us.
Di garis batas antara Kalimantan Barat (Kalbar) dan Sarawak, Malaysia, berdiri puluhan desa yang menjadi saksi bisu tarik-menarik antara keterikatan lokal dan ikatan kebangsaan. Desa-desa seperti Entikong, Nekan, Badau, Sanatab, hingga Jasa dan Sungai Kelik, bukan sekadar titik koordinat di peta, tapi titik kritis dalam melihat bagaimana negara hadir—atau absen—di wilayah terjauh republik ini.
Perbatasan Bukan Sekadar Garis
Secara administratif, desa-desa ini berada di kabupaten seperti Sanggau, Bengkayang, Kapuas Hulu, Sambas, dan Sintang. Tetapi secara sosial dan ekonomi, mereka sangat terhubung dengan wilayah Malaysia di seberangnya. Pasar, fasilitas kesehatan, hingga pendidikan yang memadai—semuanya lebih mudah dijangkau ke Sarawak ketimbang ke ibu kota kabupaten sendiri.
Ketimpangan infrastruktur membuat barang kebutuhan pokok yang dijual di warung-warung desa lebih mahal jika didatangkan dari dalam negeri, sementara barang dari Malaysia bisa masuk lebih cepat dan murah, meski kadang ilegal. Ketergantungan ini membuat nilai tukar ringgit kerapkali dijadikan acuan, dan mata uang Malaysia itu beredar di warung-warung lokal.
Di satu sisi, ini adalah realitas geografis dan ekonomi. Tapi di sisi lain, ini mencerminkan tantangan serius terhadap kedaulatan ekonomi nasional.
Mobilitas Sosial yang Kabur
Kedekatan kultural antara masyarakat Dayak dan Melayu di kedua sisi perbatasan menjadikan interaksi sosial sangat cair. Perkawinan lintas negara, bekerja secara musiman ke Malaysia, atau bahkan menyekolahkan anak ke Sarawak bukan hal aneh.
Namun mobilitas ini kerap terjadi di luar sistem formal negara. Banyak pekerja tidak tercatat secara legal, anak-anak berstatus tanpa identitas, dan warga sulit mengakses hak dasar dari negara karena status kewarganegaraan atau administratif yang tumpang tindih.
Negara kerap tertinggal dalam mencatat, melindungi, dan memfasilitasi warganya sendiri di wilayah-wilayah ini.
Nasionalisme yang Nyata, tapi Teruji
Meski infrastruktur negara lamban menjangkau mereka, nasionalisme warga perbatasan tetap kuat. Di Entikong atau Ketungau, upacara bendera 17 Agustus tetap dilakukan meski di tanah lapang berumput liar. Lagu kebangsaan dinyanyikan, dan bendera Merah Putih berkibar gagah—walau tiangnya kadang cuma bambu seadanya.
Tapi jangan salah, nasionalisme bukan perasaan yang otomatis tumbuh, apalagi jika setiap hari yang mereka rasakan justru kehadiran negara tetangga. Nasionalisme mereka adalah bentuk kesetiaan yang terus-menerus diuji oleh keterbatasan dan rasa diabaikan.
Upaya dan Harapan
Pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu seperti di Entikong, Badau, dan Aruk mulai menunjukkan keseriusan negara menghadirkan wajah resmi di tapal batas. Tidak hanya pos imigrasi dan bea cukai, tapi juga pasar, layanan publik, bahkan ruang budaya. Ini langkah maju, tapi harus dibarengi dengan pembangunan yang lebih luas ke desa-desa sekitarnya.
Pendidikan dan layanan kesehatan harus didekatkan, harga logistik harus ditekan, dan infrastruktur jalan harus segera menembus desa-desa terpencil. Lebih penting lagi, harus ada kebijakan afirmatif untuk generasi muda di perbatasan agar mereka tidak hanya merasa menjadi “orang jauh”, tapi bagian utuh dari masa depan bangsa.
Perbatasan bukan sekadar batas geografi. Ia adalah cermin bagaimana negara memaknai dirinya. Jika desa-desa di Kalimantan Barat yang bersisian langsung dengan Malaysia terus merasa lebih terhubung dengan negeri seberang, maka kita sedang mengalami erosi diam-diam terhadap keutuhan nasional.
Indonesia tidak cukup hadir hanya dengan pos penjaga dan patok batas. Ia harus hadir lewat jalan, sekolah, harga sembako, layanan publik, dan rasa bangga yang tumbuh dari bawah.
Warga perbatasan adalah garda depan republik, bukan sisa dari pinggiran. Dan dari merekalah kita seharusnya belajar bahwa nasionalisme bukan slogan, tapi kesetiaan dalam keterbatasan.
7 Agustus 2025
*) Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI
Komentar