Opinion
Beranda » Berita » Jika Aku Jadi Komisaris

Jika Aku Jadi Komisaris

Jika jadi komisaris/ilustrasi. (Foto: ilustrasi Mila M)

Oleh Mila Muzakkar *)

Matahari baru aja muncul. Macam-macam kendaraan-dari yang mewah banget sampai yang biasa-sudah berjejer di jalan-jalan Jakarta.

Mereka mungkin pejabat negara, pebisnis, pelajar, atau driver ojol. Semua sedang menuju tempat kerja, dari gedung tinggi ber AC hingga yang tetap di jalanan.

Di sudut-sudut jalan, misalnya di pertigaan arah Lebak Bulus-Fatmawati, berjejer pula wajah-wajah lesu penuh harap. Sekitar lima sampai tujuh orang bapak-bapak sedang menunggu nasib baik: ada yang ngerokok, saling ngobrol, ada juga yang tidur. Di depannya masing-masing, terlihat alat pembersih rumput.

Yup, itulah pekerjaannya, membersihkan taman.

Bendera Anime One Piece Bersanding dengan Merah Putih di HUT Ke-80 RI: Sebuah Simbol Arketipe Carl Jung dan Kritik Kolektif terhadap Kekuasaan

Kalau pejabat, pebisnis, dan pelajar yang berjejer di jalan raya tadi punya tujuan yang jelas. Datang ke kantor, duduk di ruangan nyaman, meeting bentar, lalu bergeser ke tempat lain.

Akhir bulan, mereka ngintip rekening, di sana ada puluhan sampai ratusan juta. Begitu seterusnya, setiap bulan, selama mereka menjabat.

Beda banget sama bapak-bapak di pinggir jalan itu. Belum jelas nasibnya. Meski mereka sudah nongkrong di jalan barengan sama munculnya matahari, sampai matahari pulang pun, belum tentu mereka dapat duit.

Sesekali kalau nasib baik, mereka bisa bawa pulang uang sekitar 50 ribu sampai 200 ribu rupiah. Uang itulah yang mereka harapkan untuk hidup sekeluarga, sehari.

Bagaimana Kalau sehari mereka nggak dapat apa-apa?

Ketika AI Lebih Setia dari Manusia

Pagi ini, di salah satu grup WA, seorang teman menulis cerita mantan komisaris di salah satu BUMN. Komisaris ini merasa kaget karena hanya bekerja 4 kali sebulan, tapi dapat gaji bulanan 75 juta.

Ia merasa nggak tenang, nggak sebanding yang diberikan dengan yang didapatkan. Setelah selesai masa tugas, dan ditawari lagi menjadi komisaris, ia menolak. Karena nggak sejalan dengan kata hatinya.

“Hormat untuk Bapak Komisaris yang kayak gitu.” Aku merespons tulisan itu.

Setiap aku melewati jalan Jakarta, melihat kumpulan bapak-bapak pembersih taman menunggu panggilan, melihat ibu pemulung mendorong gerobak sambil menggendong anaknya, melihat seorang kakek tergopoh-gopoh memanggul batu cobekan, refleks dalam hati langsung terucap: “Ya Tuhan, mudahkan rezeki untuk mereka. Atau jika Engkau mengizinkan, beri aku kemampuan untuk membantu mereka, mungkin nggak semua, tapi sebagian dari mereka.”

Sambil berucap dalam hati, pikiranku ikut melayang, ingat-ingat lagi, apa aku udah hemat beberapa hari ini? Kok bisa aku beli makan mahal, beli hal yang nggak urgent, padahal di depan mata banyak orang yang susah makan?

Berharap Ada Jarak yang Jauh dengan Amalnya

Entah kenapa, selalu begitu. Doa itu dengan sendirinya terucap dalam hati.

Padahal aku sadar, aku sendiri masih berjuang hidup. Bisa jadi kondisiku nggak terlalu jauh dari mereka. Tapi selalu nuraniku teriris-iris menyaksikan pemandangan itu.

Ini hal yang sangat aku syukuri. Aku menganggap, Tuhan selalu menajamkan nuraniku. Dan aku ingin merawatnya.

Kembali ke soal komisaris tadi.

Aku jadi berpikir bagaimana kalau tiba-tiba aku jadi komisaris? Gaji bulanan 75 juta itu baiknya aku apain?

Hmm…mungkin 25 juta untuk aku, dan 50 juta sisanya aku pakai untuk mewujudkan mimpi-mimpiku yang sudah aku tulis sejak dulu:

  1. Bangun “Sekolah Kehidupan” gratis-berkualitas dan perpustakaan estetik di kampungku
  2. Memfasilitasi ruang bisnis one stop service untuk pedagang kecil
  3. Membangun gerakan Gen Z pemberdaya
  4. Bangun kelas bisnis etis untuk para pebisnis muda.

Mimpi aja dulu, ya kan?
Toh, dalam hidup ini banyak kejutan-kejutan yang nggak terduga. Siapa tahu semesta mendukung.

Kalau pun nggak sampai terjadi, yowes!

Minimal aku sudah berniat dan merencanakan. Itu aja sudah bikin aku merasa bernilai dan bahagia.

Depok, 4 Agustus 2025

*) Pegiat Literasi AI & Founder Generasi Literat

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *