Oleh Chappy Hakim *)
Tubuh manusia pada dasarnya diciptakan dalam keadaan sehat. Secara natural, organisme hidup memiliki sistem pertahanan dan penyembuhan yang sangat kompleks, terintegrasi, dan bekerja tanpa henti untuk menjaga keseimbangan internal.
Ketika kita merasakan tubuh berfungsi dengan baik, pernapasan stabil, metabolisme seimbang, tidur nyenyak, gerak luwes itu menunjukkan bahwa seluruh sel dan organ sedang menjalankan tugasnya dengan tepat. Kesehatan bukan sekadar ketiadaan penyakit, melainkan kondisi harmoni biologis yang terjadi ketika semua mekanisme molekuler bekerja sinkron sesuai rancangan alam.
Ketika seseorang jatuh sakit, sebenarnya terdapat sinyal bahwa ada sesuatu yang salah dalam gaya hidup, pola makan, pikiran, atau lingkungan. Banyak penyakit modern bukan muncul karena faktor luar semata, melainkan akibat akumulasi pilihan hidup yang keliru antara lain kelebihan gula, tidur kurang, stres kronis, aktivitas fisik minim, serta paparan toksin yang diabaikan.
Tubuh kita tidak pernah secara tiba-tiba “memutuskan” untuk sakit. Sebaliknya, ia memperingatkan melalui gejala seperti batuk, demam, nyeri, lesu yang sesungguhnya merupakan bahasa tubuh untuk berkata bahwa keseimbangan tengah terganggu. Dalam banyak kasus, manusialah yang mengabaikan tanda kecil hingga berubah menjadi masalah besar.
Tubuh manusia sudah dibekali dua sistem utama untuk menjaga diri, yakni sistem imun dan sistem penyembuhan alami. Sistem imun bertugas mengenali musuh, menghancurkan patogen, serta mencegah infeksi berkembang.
Sementara itu, sistem penyembuhan bekerja menutup luka, memperbaiki jaringan, meregenerasi sel, dan membuang komponen tubuh yang sudah usang. Seluruh mekanisme ini bekerja otomatis, bahkan saat kita tidur. Mereka hanya membutuhkan satu hal yaitu kondisi internal yang mendukung.
Ketika tubuh dibebani makanan berlebih, stres emosional, pola tidur buruk, atau gaya hidup pasif, kedua sistem ini terhambat untuk bekerja. Seperti mesin yang terus dipaksa bekerja tanpa jeda, ia akan panas, tersendat, lalu rusak.
Pertanyaannya, jika tubuh sudah memiliki mekanisme kesehatan yang begitu canggih, mengapa kita masih sakit? Salah satu jawabannya adalah karena kita jarang memberi kesempatan kepada tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri secara optimal.
Kita terlalu sering makan, jarang bergerak, selalu terpapar stres, dan kurang istirahat. Di sinilah peran penting sebuah mekanisme biologis yang disebut autophagy. Ketika tubuh masuk ke kondisi tertentu, ia mulai memakan dan mendaur ulang komponen sel yang rusak, kotoran molekuler, protein yang menggumpal, dan organel yang menua. Proses ini ibarat layanan kebersihan internal yang membersihkan “sampah” seluler, mencegah radang kronis, serta memperbaiki jaringan yang terganggu.
Dengan demikian, autophagy bukan hanya istilah ilmiah, melainkan jawaban elegan alam atas pertanyaan sederhana tentang bagaimana tubuh merawat dirinya sendiri. Ia adalah kunci pembaharuan komponen tubuh, pencegah penuaan dini, dan strategi untuk mempertahankan kesehatan seluler. Maka, ketika sakit muncul, ia bukan kutukan tapi ia adalah undangan untuk mengevaluasi cara hidup, menghormati ritme biologis, dan mengaktifkan mekanisme penyembuhan yang telah diwariskan secara natural.
Autophagy membuktikan bahwa tubuh tidak pernah pasif. Ia selalu ingin sehat, kitalah sebenarnya yang harus belajar untuk tidak menghalanginya.
Istilah autophagy semakin sering terdengar dalam diskursus kesehatan modern, terutama dalam konteks longevity, diet, penuaan, hingga pencegahan penyakit metabolik. Namun, konsep ini bukanlah tren baru, ia merupakan mekanisme biologis dasar yang sejak lama beroperasi dalam tubuh manusia.
Autophagy merujuk pada proses alami sel untuk mendaur ulang komponen internalnya yang sudah rusak, menumpuk, atau tidak lagi efisien. Dalam bahasa sederhana, autophagy adalah sistem daur ulang tingkat sel yang menjaga kebersihan dan efisiensi mesin biologis tubuh kita.
Secara etimologis, kata autophagy berasal dari bahasa Yunani, yaitu auto yang berarti “diri sendiri” dan phagein yang berarti “memakan”. Maka, autophagy secara harfiah bermakna “memakan diri sendiri”. Meski terdengar ekstrem, proses ini justru krusial yakni sel-sel tubuh memakan komponen lamanya untuk menghasilkan energi, membangun struktur baru, dan mencegah akumulasi sampah biologis. Tanpa autophagy, tubuh akan menua lebih cepat, rentan terhadap peradangan kronis, serta meningkatkan potensi munculnya penyakit degeneratif.
Penelitian sistematis mengenai autophagy pertama kali dipelajari secara mendalam oleh Dr. Yoshinori Ohsumi, seorang ilmuwan asal Jepang. Ia meneliti proses ini pada sel ragi, memetakan mekanisme molekulernya, serta mengidentifikasi gen-gen yang berperan dalam regulasinya.
Karya besarnya ini mengantarkan Ohsumi meraih Penghargaan Nobel bidang Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 2016. Melalui penelitiannya, dunia sains memahami bahwa autophagy adalah pilar fundamental kesehatan seluler yang berkaitan dengan penuaan, metabolisme, serta proteksi terhadap berbagai penyakit.
Secara metodologis, autophagy terjadi ketika sel membentuk struktur membran yang disebut autophagosome untuk menelan bagian dalam dirinya yang rusak, mulai dari protein terdenaturasi, organel yang menua, hingga agregat toksik. Struktur ini kemudian bergabung dengan lisosom, organel pencerna internal, untuk memecah komponen-komponen tersebut menjadi molekul kecil yang dapat digunakan kembali. Inilah bentuk efisiensi biologis: “membuang” untuk “membangun kembali”.
Bagaimana cara mengoptimalkan autophagy dalam kehidupan sehari-hari? Salah satu cara paling terbukti adalah fasting atau berpuasa. Ketika tubuh kehabisan glukosa sebagai sumber energi, ia akan mulai memecah komponen internal yang tidak digunakan, menstimulasi autophagy secara alami.
Ini pula yang menjelaskan mengapa tradisi puasa dalam berbagai kebudayaan dan agama memiliki manfaat kesehatan, bahkan sebelum sains modern memahaminya. Selain itu, caloric restriction atau pengurangan kalori tanpa menyebabkan malnutrisi adalah metode lain yang terbukti meningkatkan durasi hidup pada berbagai organisme. Olahraga intensitas sedang hingga tinggi juga dapat merangsang autophagy, terutama pada otot dan jaringan saraf. Bahkan tidur berkualitas memainkan peran penting karena autophagy di otak meningkat pada fase tidur tertentu.
Perlu disadari bahwa tubuh bekerja dalam keseimbangan. Autophagy yang terlalu rendah dapat memicu penuaan dini dan penyakit neurodegeneratif, sementara autophagy yang terlalu tinggi berpotensi menyebabkan kelemahan jaringan. Karenanya, gaya hidup sehat harus diterapkan secara bijak, yakni puasa intermiten yang teratur (misalnya 16:8), olahraga konsisten, pembatasan gula sederhana, serta pola tidur yang baik. Suplementasi tertentu seperti resveratrol, berberine, dan spermidine juga sedang diteliti sebagai pemicu autophagy, namun penggunaannya sebaiknya disertai pemahaman medis yang cermat.
Dalam perspektif yang lebih luas, autophagy bukan sekadar mekanisme biologis; ia merupakan cerminan filosofi hidup. Ada saatnya tubuh, dan juga diri manusia perlu “membersihkan” bagian-bagian yang tidak lagi berguna, memperbaiki kerusakan, lalu membangun kembali dengan lebih baik. Ia mengajarkan prinsip keutuhan bahwa pembaruan tidak selalu datang dari luar, tetapi juga dari kemampuan internal untuk memperbaiki diri.
Dengan demikian, autophagy adalah salah satu keajaiban tersembunyi tubuh manusia. Ia menjaga umur panjang, mencegah degradasi seluler, memodulasi respons imun, serta melindungi kita dari akumulasi kerusakan biologis. Dunia sains kini semakin mengagumi keampuhannya, namun sesungguhnya mekanisme ini telah bekerja ribuan tahun sebelum manusia mengenal kata “autophagy”.
Kesehatan yang baik bukan semata hasil intervensi medis, tetapi juga kemampuan tubuh menjalankan pembersihan internalnya secara optimal. Ketika tubuh diberi kesempatan untuk “memakan dirinya sendiri” dalam pengertian biologis, ia sedang menyiapkan fondasi untuk kehidupan yang lebih kuat, lebih bersih, dan lebih panjang.
Jakarta 1 November 2025
*) Tulisan disusun dari berbagai sumber oleh seorang pria yang akan berusia 78 tahun.




Komentar