Oleh Mila Muzakkar *)
“Ngapain pilih kafe jadul macam ini? Ini kafe bapak-bapak atau simbah-simbah,” ujar Titok setengah meradang.
Dora tersenyum. “Justru karena itu, aku ingin ngajak kamu ziarah…”
“Ziarah? Emangnya ini kuburan?” Sergah Titok.
“Ziarah tak selalu bicara orang mati. Tapi juga pemikiran. Ziarah pemikiran,” jawab Dora.
Sepasang kekasih, Dora dan Titok berantem di kafe yang nuansanya jadul, penuh foto-foto orang revolusioner: Bung Karno, Tan Malaka, Karl Marx, Plato, dan Soe Hok Gie. Juga ada buku-buku, sepeda kayu, radio manual, dan benda-benda lain yang udah jarang ditemui di kafe kekinian.
Itu cuplikan salah satu tulisan Bambang Isti Nugroho (BIN), aktivis sejak dulu sampai sekarang, dalam bukunya, “Menyembah Bendoro Cuan”, yang ia kasih ke aku beberapa hari lalu.
*
Aku membaca buku itu di malam Minggu, di salah satu kafe kekinian, dan di tengah keramaian tongkrongan anak-anak muda.
Di meja atau di tangan mereka nggak ada buku. Bagaimana dengan kopi? Nah, ini banyak. Tapi bukan kopi hitam pahit ala rumahan gitu, ya. Berganti jadi kopi kekinian: latte, mocachino, coffe avocado, dan macam-macam varian kopi kekinian.
Sebagian asyik ngepulin asap rokoknya, sebagian ge-vape, ada yang live Tiktok, juga ada yang agak serius di depan laptop. Kayaknya sih, ini tipe-tipe mahasiswa lagi ngerjain tugas kuliah atau dikejar deadline skripsi.
Setelah mataku menjelajah kesana-kemari, fix hanya aku yang membaca buku. Sambil menikmati caramel macchiato coffe (ini kalau di-Indonesiakan artinya kopi yang dicampur susu, sirup vanila, dan saus karamel).
Apakah aku merasa aneh sendiri baca buku di tengah orang-orang yang nggak baca buku? Atau orang-orang itu merasa aneh melihatku yang “agak laen”? Terganggukah aku dengan suasana keramaian dan suara musik yang cukup kencang?
Ternyata, nggak!
*
BIN di dalam bukunya banyak membahas tentang aktivisme di masa lalu yang sekarang udah pudar dan dangkal.
Dulu, para pejuang yang revolusioner itu suka belajar-baca banyak hal–sangat idealis memperjuangkan kemanusiaan, nggak kompromi dengan kekuasaan yang menindas, meski risikonya adalah siap disiksa, dipenjara, juga hidup miskin.
Sekarang masih ada nggak yang kayak gitu? Mungkin ada, tapi 1 dari 100 orang, atau 1 dari 1000 orang. Eh, kayaknya nggak deh, tapi 1 dari…. Entahlah!
Tapi di zaman sekarang, apa harus kita menjadi aktivis seperti zaman dulu? Mengikuti cara berpikirnya, pola hidupnya, tempat nongkrongnya, bahan-bahan bacaannya, dan agenda-agenda yang mereka perjuangkan?
Hmm… Menurutku sih nggak kayak gitu juga!
Setiap zaman tuh berbeda, dan setiap orang harus hidup di zamannya. Beberapa hal di masa lalu yang dicontohkan para pejuang bangsa, perlu ditiru dan diteruskan, kayak: kebiasaan baca buku (terutama buku-buku yang membangun fondasi pemikiran), berpikir dan bertindak idealis tentang hidup yang setara, adil, dan asyik untuk semua pihak, juga menjadi aktor untuk memperjuangkan itu minimal di lingkungan terdekat masing-masing, termasuk di medsos.
Soal di mana tempat nongkrong aktivis di masa lalu (apakah di pojokan yang sepi di bawah lampu temaram), makanan kesukaan, dan gimana gaya pacaran mereka, yah nggak harus sama dong!
Itu nggak move namanya hehe…
Nggak apa-apa kita nongkrong di kafe kekinian, sambil nikmatin ice coffee latte, sambil baca tipis-tipis buku pemikiran para pejuang bangsa kita nih. Karena kita juga perlu tahu kenapa dan apa yang mereka perjuangkan, untuk siapa, dan apa hubungannya dengan generasi kita sekarang, dan generasi selanjutnya.
Diskusi buku juga bisa banget dibuat di kafe semi outdoor. Cukup modal beli es teh atau segelas kopi, kita udah bisa nongkrong dengan vibes kekinian, sambil nikmatin angin sepoi-sepoi, sambil ngobrolin agenda-agenda anak muda ke depan.
Sesekali, ajak teman-teman komunitas ngumpul sambil diskusi masalah-masalah kekinian, apa yang bisa dilakukan, gimana strateginya. Pengalamanku, seringkali, ide-ide keren dan penting seperti: “Hang Out Kebinekaan sebagai lifestyle kekinian”, Bank Sampah untuk jaga lingkungan, gerakan perempuan muda Speak Up, Self Love Training untuk kesehatan mental anak muda, dan banyak lagi, lahir di sini, di kafe kekinian.
Kafe bisa juga jadi tempat nongkrong bareng teman-teman lintas latar belakang, ngalor-ngidul apa aja. Wah sia-sia dong, nongkrong yang buang-buang waktu? Nggak juga. Kadang, ngobrol ngalor-ngidul itu adalah cara lain untuk brainstorming ide. Atau minimal banget, kita bisa berinterakai langsung dengan orang yang berbeda, paham cara berpikirnya, lalu jadi bahan refleksi untuk diri sendiri.
“Tapi aku nggak suka nongkrong di kafe, nggak suka keramaian, lebih suka rebahan di kamar,” kata seseorang.
Oke, fine! Dunia belum berakhir. Kamu masih bisa melawan. Mainkan gadgetmu untuk menyebar ide-ide segar, seperti yang diperjuangkan para aktivis dulu. Tentang gimana menjadi anak muda yang cerdas supaya nggak gampang dibodoh-bodohin, gimana menjadi teguh pendirian dan tangguh supaya nggak semudah itu disogok dengan cuan untuk melakukan keburukan. Posting di IG dan di TikTok kamu, pake background musik yang lagi trend.
Begitu menurutku cara-cara menjadi aktivis masa kini. Tetap melakukan revolusi yang soft, dengan cara kekinian. Karena revolusi bisa lahir di jalanan sambil berdarah-darah, atau di kafe sambil duduk santai menikmati lagu tabola-bale.
Sambil rebahan, 2 November 2025
*) Founder Generasi Literat.




Komentar