JRMEDIA.ID — Pemerintah dan DPR RI resmi melegalkan umrah mandiri. Aturan tersebut tercantum dalam Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU) yang baru.
Dalam salinan UU No 14 tahun 2025 tentang perubahan ketiga atas UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pasal 86 ayat 1 huruf b menyatakan perjalanan ibadah umrah bisa dilakukan secara mandiri. Padahal sebelumnya, umrah hanya bisa dilakukan melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Asosiasi Muslim Pengusaha Haji Umrah Republik Indonesia (Amphuri) menyebut bahwa umrah mandiri resmi dilegalkan oleh negara berdasarkan aturan perundang-undangan. Ini setelah Amphuri menerima salinan UU PIHU (Penyelenggaraan Ibadah Umrah Haji) No 14 tahun 2025 sebagai pengganti UU No. 8 Tahun 2019.
“Pasal 86 ayat 1 huruf B mencantumkan legalisasi umrah mandiri yang di dalam UU Umrah Haji sebelumnya hanya bisa diselenggarakan melalui PPIU saja dan tidak pernah ada pasal Umrah Mandiri,” kata Sekjen Amphuri Zaky Zakariya dalam siaran persnya, Kamis (23/10/2025).
Zaky mengutip pernyataan Ketua Umum DPP Indonesia Congress and Convention Association (INCCA), Iqbal Alan Abdullah (anggota DPR RI 2009-2014) yang menyatakan konsekuensi dari legalisasi umrah mandiri itu akan sangat merugikan, baik dari sisi perlindungan jamaah maupun ekonomi domestik. Secara ekonomi, ini bisa memicu pengangguran baru karena ada sekitar 4,2 juta pekerja yang bergantung pada sektor haji dan umrah.
Menurut Zaky, sejak UU PIHU baru beredar, suasana batin PPIU dan PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus) bergejolak di semua asosiasi. Ia selaku penyelenggara PPIU tidak begitu khawatir dengan adanya umrah mandiri karena umrah mandiri sedikit banyak sudah banyak terjadi sejak lama.
Namun yang dikhawatirkan adanya legalisasi umrah mandiri. Zaky mengingatkan, Indonesia perlu mengantisipasi pemain besar/holding besar/marketplace global. “Kalau legalisasi umrah mandiri disahkan mereka akan mulai masuk efeknya tidak hanya ekonomi berbasis keummatan yang hancur.”
Negara, lanjut Zaky, juga akan rugi dengan hilangnya potensi pendapatan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) di sektor jasa yang selama ini pemerintah selalu gaungkan untuk ditingkatkan, menambah pengangguran, hilang pajak, dan lain-lain.
Yang selalu menjadi pertanyaan hampir semua pelaku umrah haji adalah “Lalu apa artinya izin usaha yang kita miliki? Kenapa usaha pertambangan perlu izin? Karena yang tidak punya izin akan ditindak, begitu juga ekosistem umrah haji perlu izin semestinya yang tidak berizin juga ditindak, kalau tidak ditindak apa artinya kita perlu izin?”
Zaky berharap, keresahan pelaku usaha di dalam ekosistem umrah haji berbasis keumatan ini bisa didengar presiden. Karena sejak UU PIHU baru beredar pada 14 Oktober 2025 belum ada penjelasan dari Kementerian Haji Umrah RI mengenai penjabarannya.
“Kita masih berbaik sangka semoga penjabarannya tidak seperti yang kita duga, tinggal Kementerian Haji Umrah RI atau Komisi VIII DPR RI menjelaskan. Ini karena dalam UU no 14 tahun 2025 umrah mandiri masih diikat dengan Penyedia layanan dan Sistem Informasi Kementerian,” ujar Zaky.
Zaky berharap DPR maupun pemerintah menjelaskan apa yang dimaksud Sistem Informasi Kementerian. Apakah hanya pengganti Siskopatuh biasa untuk pelaporan saja atau seperti aplikasi yang pernah Kementerian Agama (Kemenag) wacanakan sistem aplikasi 1 pintu pembelian paket umrah haji yang penyedia layanannya PPIU/PIHK bisa dibilang Nusuk versi Indonesia. Kemudian, Penyedia layanan: Siapa penyedia layanan yang dimaksud UU PIHU baru? Apakah hanya PPIU/PIHK atau semua marketplace seperti Agoda, Traveloka, Tiket.com, Nusuk, Rowa, Maysan dll bisa juga menjual ke sistem informasi kementerian atau menjual langsung ke masyarakat Indonesia?
“Kalau ini terjadi yah memang wassalam PPIU/PIHK, kita gak bisa bersaing dengan marketplace global yang strateginya bakar uang, modal besar yang bisa block hotel/tiket dengan series akan berat ke depannya,” ujar Zaky menandaskan.
(***)




Komentar