Opinion
Beranda » Berita » Tragedi Ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta: Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Harus Jadi Program Prioritas

Tragedi Ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta: Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Harus Jadi Program Prioritas

Halili Hasan. (Foto: gebrak.id/setara institute)

Oleh Halili Hasan dan Azeem Marhendra Amedi *)

Peristiwa ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025) yang menyebabkan puluhan orang terluka merupakan bukti nyata tindakan ekstremisme kekerasan. Sebelum tragedi tersebut, dalam tiga tahun terakhir, tidak terjadi satu pun serangan teroris di Indonesia (zero terrorist attack).

Namun, peristiwa di SMA 72 Jakarta merupakan alarm peringatan bahwa kesiapsiagaan dan langkah prevensi mesti selalu dilakukan guna menghindari terjadinya keberulangan dan mencegah ekstremisme berbasis kekerasan.

SETARA Institute menyampaikan beberapa pernyataan terkait tragedi tersebut, sebagai berikut.

  1. Tragedi di SMA 72 Jakarta ini mesti dicatat sebagai peringatan bahwa permasalahan ekstremisme berbasis kekerasan di usia dini masihlah besar dalam tata kebinekaan Indonesia. Nama-nama teroris dunia yaitu “Brenton Tarrant” pelaku teror di Selandia Baru dan “Alexandre Bissonnette” pelaku teror di Kanada, serta narasi “Welcome to Hell” di senapan mainan yang diduga milik terduga pelaku merupakan penegas bahwa tragedi tersebut bukanlah peristiwa kriminal biasa, namun patut diduga mengarah pada terorisme.
  2. Tragedi tersebut menegaskan bahwa seluruh pihak mesti bekerja sama dan terlibat daam agenda dalam mencegah dan menangani kompleksitas eksremisme kekerasan. Derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi melipatgandakan kompleksitas persoalan pencegahan dan penanganan keterpaparan, terutama di kalangan generasi muda. Upaya-upaya peningkatan literasi kebangsaan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan harus dilakukan secara lebih massif untuk mencegah keterpaparan masyarakat dan generasi muda kita dengan ideologi dan narasi ekstremisme-kekerasan.
  3. Di antara sejumlah agenda mendesak untuk mencegah dan menangani keterpaparan anak-anak usia dini dari ideologi dan narasi ekstremisme-kekerasan adalah dengan menguatkan kemampuan berfikir kritis serta meningkatkan penerimaan (acceptance) atas keberagaman di sekitar mereka. Masyarakat dan generasi muda kita harus dibiasakan untuk menghaluskan (sublimate) ketidaksetujuan (disapproval) mereka terhadap yang lain atau yang berbeda (liyan/the others). Ketidaksetujuan terhadap keyakinan, pandangan, organisasi, simbol-simbol, atau bahkan ritual yang berbeda bukanlah alasan yang dibenarkan untuk merusak, menghancurkan, atau meniadakan (denial) yang tidak disetujuinya itu.
  4. Terpaparnya remaja dengan paham intoleransi hingga ekstremisme terlihat pada data riset SETARA Institute. Temuan dalam survei (2023) menunjukkan bahwa terdapat 24,2% remaja dalam kategori intoleran pasif, 5% dari mereka intoleran aktif dan 0,6% lainnya terpapar ideologi ekstremisme. Dalam survei tersebut, meskipun toleransi di kalangan remaja SMA tinggi yaitu 70,2%, tadi terjadi peningkatan cukup tajam pada kategori intoleran aktif dibandingkan survei serupa sebelumnya pada 2016, dari 2,4% menjadi 5,0%, dan pada kategori terpapar dari 0,3% menjadi 0,6%.
  5. Dalam pandangan SETARA Institute, sejauh ini agenda dan program pencegahan yang dilakukan untuk mengatasi tantangan percepatan intoleran aktif dan remaja terpapar belum efektif dan cenderung melemah dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang barangkali dipengaruhi oleh fakta objektif ‘nol serangan teroris’ dan program efisiensi dalam tata kelola anggaran. Kejadian di SMA 72 Jakarta merupakan peringatan keras bahwa pencegahan ekstremisme kekerasan harus selalu ditempatkan sebagai program prioritas.
  6. Agenda pencegahan ekstremisme-kekerasan harus diperankan oleh seluruh pemangku kepentingan guna menghindari keberulangan. Rencana Aksi Nasional Pencegahan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) harus diaktivasi dan dioptimalisasi untuk mendorong kolaborasi lintas aktor dan lintas skor.

Demikian pula pemerintah daerah dan aktor-aktor kunci di daerah harus terus didorong untuk mengoptimalisasi peran melalui Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAD-PE). Seluruh pihak terkait harus terus dorong untuk saling menguatkan wawasan kebinekaan dengan kolaborasi Tiga Pilar Kepemimpinan dalam ekosistem toleransi, yaitu kepemimpinan politik, kepemimpinan birokratik, dan kepemimpinan kemasyarakatan.

Ketika Solidaritas Jadi Konten

  1. Fakta spesifik bahwa terduga pelaku yang merupakan salah seorang siswa berusia 17 tahun sering menjadi korban perundungan (bullying) di sekolah harus memantik perhatian para pemangku di lembaga pendidikan, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen).

Kita semua seharusnya tidak memberikan toleransi sekecil apapun pada berbagai bentuk perundungan yang terjadi di sekolah. Perundungan terbukti tidak saja menyakiti para korban, bahkan bisa menghilangkan nyawa korban, tetapi juga menjerumuskan korban pada berbagai anomali, hingga pada tingkatan yang ekstrem, dari balas dendam (resiprokalitas) hingga ekstremisme-kekerasan seperti yang terjadi di SMA 72 Jakarta.

Jakarta, 9 November 2025

*) Direktur Eksekutif SETARA Institute dan Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute.

Hidup Sehat dengan Autophagy: Mekanisme “Pembersihan Diri” Sel sebagai Kunci Kesehatan dan Umur Panjang

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *