Foto: Lukisan Sultan Mehmed II, 1480, oleh Gentile Bellini (1429–1507).
JRMEDIA.ID — Pada suatu pagi musim semi di tahun 1481, pasukan Kesultanan Utsmaniyah bergegas mempersiapkan ekspedisi besar yang direncanakan langsung oleh pemimpinnya, Sultan Mehmed II. Namanya telah menggema dari Istanbul hingga ujung barat Balkan sebagai penakluk besar.
Dialah orang yang menggulingkan Konstantinopel, ibukota Byzantium yang tak tergoyahkan selama seribu tahun, dan menjadikannya jantung peradaban Islam yang baru. Namun sebelum langkah besarnya yang berikutnya terwujud, ajal datang menjemput. Sang penakluk wafat dalam usia 49 tahun, menyisakan tanda tanya besar: seandainya ia hidup lebih lama, akankah Eropa tunduk di bawah panji bulan sabit?
Sultan Mehmed II bukan sekadar seorang penakluk. Ia adalah sosok jenius militer sekaligus negarawan ambisius yang memiliki visi mendirikan kekaisaran Islam global. Setelah Konstantinopel jatuh ke tangannya pada tahun 1453, ia tidak berhenti. Satu demi satu wilayah di Balkan tunduk, kerajaan-kerajaan kecil Anatolia disatukan, dan bahkan benteng-benteng Italia selatan mulai goyah oleh tekanan kekuatan Ottoman. Ia memimpikan lebih dari sekadar wilayah kekuasaan; ia menginginkan kejayaan Islam berdiri tegak di jantung dunia Barat, bahkan di atas reruntuhan Roma.
Andai saja ia hidup 15 atau 20 tahun lebih lama, sejarah Eropa mungkin ditulis dengan tinta yang berbeda. Di bawah kepemimpinannya, kekuatan militer Ottoman mencapai puncaknya. Armada lautnya semakin kuat, pasukan Janissari semakin terlatih, dan jalur logistik ke Balkan telah mantap. Kota-kota seperti Venesia, yang sebelumnya menjadi pusat perdagangan Eropa dan kekuatan maritim Mediterania, telah beberapa kali merasakan getirnya kekalahan. Dalam waktu yang lebih panjang, bukan tidak mungkin Venesia akan sepenuhnya jatuh, dan Italia utara pun menyusul.
Di sisi lain, Kekaisaran Romawi Suci, yang terpecah-pecah dalam ratusan kerajaan kecil di wilayah Jerman dan Austria, tampak rapuh di hadapan kekuatan militer terorganisir seperti Ottoman. Mehmed memahami ini. Ia tahu bahwa kekuatan sejati bukan hanya terletak pada jumlah pasukan, tetapi juga pada ketidakteraturan lawan. Dengan strategi diplomatik cermat dan tekanan militer bertubi-tubi, Austria bisa menjadi gerbang menuju jantung Eropa.
Sementara itu, di barat jauh, Spanyol dan Portugal mulai menunjukkan taringnya. Mereka berada dalam puncak Reconquista, dan Granada, kerajaan Muslim terakhir di semenanjung Iberia, tengah dikepung. Namun, seandainya Mehmed turun tangan—mengirim armada besar ke Gibraltar dan memperkuat Muslim Andalusia—barangkali sejarah akan berbeda. Mungkin tidak akan ada Columbus, tidak akan ada pelayaran ke Dunia Baru, karena Dunia Lama masih belum tenang di bawah bayang-bayang bendera Ottoman.
Berikut adalah skenario naratif historis alternatif: “Jika Sultan Mehmed II (Muhammad Al-Fatih) hidup lebih lama dan berhasil menaklukkan Republik Venesia”. Disusun dalam bentuk cerita imajinatif namun berbasis sejarah:
Skenario Alternatif: Ketika Sultan Mehmed II Menaklukkan Republik Venesia
Tahun 1486. Lima tahun setelah wafatnya yang tertunda, Sultan Mehmed II berdiri di dek kapal perang utama armada Ottoman, matanya menatap ke barat. Di cakrawala, tampak gugusan pulau-pulau rendah di ujung timur Laut Adriatik. Itulah Venesia, kota dagang terkaya di Eropa, pusat kekuasaan maritim yang selama ratusan tahun berdagang rempah, emas, dan pengaruh dengan Timur dan Barat. Namun bagi Sultan Mehmed, Venesia bukan sekadar kota—ia adalah simbol arogansi Barat yang harus ditundukkan.
Sejak kemenangan besarnya di Konstantinopel lebih dari tiga dekade sebelumnya, Sultan Mehmed tak pernah berhenti memperluas wilayahnya. Setelah menaklukkan seluruh Yunani, Serbia, Bosnia, dan sebagian Italia selatan, ia kini menargetkan musuh lama yang selama ini hanya bisa dikalahkan sebagian: Republik Venesia. Perjanjian damai sebelumnya hanya bersifat sementara, dan blokade ekonomi yang dilakukan Venesia terhadap Ottoman dianggapnya sebagai penghinaan yang tak bisa dimaafkan.
Dengan armada laut yang telah diperbesar dan diperkuat oleh insinyur angkatan laut asal Arab dan Persia, serta meriam-meriam besar yang sebelumnya menjatuhkan tembok Konstantinopel, Mehmed meluncurkan serangan menyeluruh ke Venesia. Dalam hitungan bulan, benteng-benteng pulau di sekitar laguna runtuh satu per satu. Jalur suplai dagang dari Laut Aegea ke Adriatik diputus. Venesia dicekik perlahan.
Pada musim panas 1487, pasukan elit Janissari mendarat di pulau utama Venesia. Setelah pengepungan singkat dan serangan amfibi yang terkoordinasi, kota kanal itu jatuh. Para doge dan bangsawan Venesia dipaksa menyerah tanpa syarat. Sultan Mehmed tidak menghancurkan kota itu. Sebaliknya, ia menjadikannya pusat maritim dan perdagangan Ottoman di Eropa barat. Menara lonceng Piazza San Marco berdiri berdampingan dengan menara adzan. Gereja-gereja besar tetap berdiri, namun dipenuhi pajak khusus sebagai simbol kekuasaan Islam atas tanah itu.
Penaklukan ini mengguncang Eropa. Tak ada lagi dinding laut yang memisahkan dunia Islam dan Eropa Barat. Negara-negara Kristen mulai panik. Roma memperkuat pertahanannya, Spanyol mengerahkan lebih banyak kapal ke Laut Tengah, dan Kaisar Romawi Suci meminta bantuan negara-negara Jerman untuk bersatu. Namun mereka lamban, terpecah oleh kepentingan masing-masing.
Dari Venesia, Sultan Mehmed melancarkan ekspansi ekonomi dan diplomasi. Kota itu dijadikan pusat perdagangan rempah dan tekstil dari Timur. Para saudagar Eropa yang ingin berdagang harus melalui izin Ottoman. Dalam sepuluh tahun, Kesultanan Utsmaniyah bukan hanya menjadi kekuatan militer, tapi juga kekuatan ekonomi terbesar di Eropa.
Venesia berubah rupa. Bahasa Turki dipelajari oleh para pedagang. Mahkamah syariah berdiri di samping kantor-kantor dagang. Kota yang dahulu menjadi lambang kejayaan Katolik berubah menjadi kota kosmopolitan Islam yang baru. Sultan Mehmed, kini berusia lebih dari 60 tahun, tinggal beberapa bulan dalam istana musim panas di Venesia setiap tahun. Ia dikenal bukan hanya sebagai Penakluk Konstantinopel, tetapi juga sebagai Bayangan Laut Tengah.
Dengan pengaruh dari Istanbul hingga laguna Venesia, Mehmed membuka jalan bagi generasi penerusnya. Eropa kini tidak lagi memiliki benteng laut yang mampu menahan ekspansi Ottoman. Tanpa Venesia sebagai sekutu dan perantara dagang, Eropa kehilangan kendali atas jalur ekonomi utama. Roda sejarah berputar ke arah Timur.
Akhir Sebuah Era, Awal Kekuasaan Baru
Penaklukan Venesia oleh Sultan Mehmed II menjadi titik balik sejarah Eropa. Kota dagang Kristen yang terkuat berubah menjadi gerbang kekuasaan Islam di jantung Eropa Barat. Diplomasi berubah, jalur perdagangan bergeser, dan keseimbangan kekuatan berpindah dari Roma dan Paris menuju Istanbul dan Venesia yang telah direbut.
Jika sejarah berjalan seperti ini, mungkin Eropa tidak akan pernah menjadi pusat dunia modern seperti yang kita kenal. Dunia Muslim bisa jadi mendominasi samudra, ekonomi, dan bahkan ilmu pengetahuan lebih cepat—dan Roma, bukannya menjadi pusat Katolik, mungkin akan jadi target berikutnya.
Warisan Sang Penakluk: Ketika Putra Mehmed II Menundukkan Spanyol dan Dunia Baru
Tahun 1491. Sultan Mehmed II akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di istana musim panasnya di Venesia yang telah direbut. Dalam usia senja, ia menyaksikan mimpinya menjadi nyata: Konstantinopel menjadi pusat kekhalifahan baru, Venesia tunduk di bawah kekuasaan Ottoman, dan Eropa gentar menyebut namanya. Namun, Mehmed tahu bahwa apa yang telah dibangunnya hanyalah fondasi. Ia meninggalkan misi besar kepada keturunannya: “Tundukkan Barat sebagaimana aku menundukkan Timur.”
Putranya, Sultan Bayezid II, mewarisi kekuasaan yang lebih luas daripada siapa pun sebelumnya. Namun bukan hanya wilayah yang ia warisi—juga semangat jihad geopolitik ayahnya. Di antara tekanan internal dan ancaman luar, Bayezid melihat satu peluang emas: Spanyol.
Spanyol, yang baru saja menaklukkan Granada pada 1492 dan mengakhiri kekuasaan Islam di semenanjung Iberia, tengah larut dalam euforia. Namun mereka tidak menyadari bahwa sisa-sisa dari khalifah terakhir Bani Umayyah Andalusia masih hidup—bergerak dalam bayang-bayang, menyimpan dendam dan harapan. Ketika Ottoman mengulurkan tangan kepada mereka, mereka menyambutnya dengan harapan membara.
🌪️ Penaklukan Balasan di Tanah Iberia
Pada awal 1500-an, armada laut Ottoman yang telah diperkuat sejak kejatuhan Venesia menyeberangi Laut Tengah dengan dukungan para mujahid Andalusia yang berpengalaman dalam pertempuran pegunungan. Dari selatan, mereka mendarat di pesisir Andalusia dan dengan cepat menguasai kota-kota pelabuhan seperti Cádiz dan Málaga.
Aliansi antara Ottoman dan sisa umat Islam di Spanyol mempercepat runtuhnya kekuasaan Katolik. Banyak kaum Morisco (Muslim yang dipaksa pindah agama) bangkit memberontak dan membantu penaklukan dari dalam. Hanya dalam waktu lima tahun, Madrid, Toledo, dan bahkan istana Alhambra di Granada kembali diwarnai kaligrafi Arab dan suara adzan.
🚢 Jihad Melintasi Samudra: Penaklukan Dunia Baru
Namun Ottoman tidak berhenti di situ.
Ketika dokumen pelayaran Spanyol ditemukan di istana yang direbut, para pejabat Ottoman terkejut membaca tentang tanah kaya emas di seberang samudra: dunia baru, tanah Kekaisaran Aztek. Mereka segera menyadari bahwa Spanyol telah mengirim ekspedisi ke tempat yang tak dikenal, dan bahwa sumber kekayaan masa depan bukan lagi hanya Eropa, tetapi Amerika.
Armada Ottoman pun segera diperluas. Dengan pelaut Andalusia yang dulunya melayani Spanyol dan peta rahasia yang berhasil dirampas, Sultan Bayezid II mengirim ekspedisi ke barat. Di bawah kepemimpinan laksamana besar—seorang muallaf asal Spanyol bernama Yusuf de Cordoba—mereka mencapai Karibia, lalu menyusuri pantai Meksiko.
Pada tahun 1515, mereka tiba di jantung Kekaisaran Aztek, hanya beberapa tahun setelah Hernán Cortés dalam sejarah asli berhasil melakukannya. Namun dalam skenario ini, Ottoman tiba lebih dulu. Bukannya pembantaian dan kolonisasi brutal seperti yang dilakukan Spanyol, para penjelajah Muslim menawarkan persekutuan dan teknologi dengan imbalan pengaruh dan konversi damai.
Bersama dengan suku-suku yang menentang pengaruh Aztek, Ottoman berhasil merebut Tenochtitlan. Namun kali ini, kota tidak dihancurkan, melainkan diislamkan. Masjid dibangun di atas reruntuhan kuil dewa-dewa kuno. Bahasa Arab dan Nahuatl hidup berdampingan, dan kalender Islam diadaptasi ke dalam sistem penanggalan suku lokal.
🌍 Peta Dunia yang Berubah
Pada pertengahan abad ke-16, peta dunia telah bergeser secara dramatis:
- Spanyol tidak lagi menjadi kekuatan dunia. Kekayaannya dirampas, koloni-koloninya direbut.
- Andalusia kembali menjadi pusat peradaban Islam, dipimpin oleh ulama dan teknokrat Ottoman.
- Dunia Baru, atau “Al-‘Ālam al-Jadīd” dalam sebutan Ottoman, menjadi wilayah strategis kekhalifahan di barat. Kekayaan emas dari Meksiko dan Andes kini mengalir ke Istanbul, bukan Madrid.
Para sejarawan di masa depan menyebut periode ini sebagai Zaman Emas Islam Kedua, di mana peradaban Muslim menguasai Asia, Afrika Utara, Eropa Selatan, dan benua Amerika.
Jika Sultan Mehmed II hidup lebih lama dan menaklukkan Venesia, jalan menuju Spanyol akan terbuka lebar. Jika putranya melanjutkan visi besar itu, dunia seperti yang kita kenal mungkin tidak akan pernah terbentuk. Tidak ada penjajahan Eropa seperti yang terjadi dalam sejarah. Tidak ada supremasi Barat. Sebaliknya, mungkin Islamlah yang pertama menjejakkan kaki di Dunia Baru—bukan demi eksploitasi, tapi peradaban.
Langit Eropa Membara: Ekspansi Ottoman ke Kekaisaran Romawi Suci
Tahun 1520. Setelah keberhasilan menaklukkan Spanyol dan menguasai sebagian besar koloni di Dunia Baru, Kesultanan Utsmaniyah berada di puncak kejayaannya. Sultan yang baru, Selim II, putra dari Bayezid II dan cucu Mehmed sang Penakluk, kini memimpin dari Istanbul—kota yang telah menjelma menjadi pusat peradaban global. Kekuasaan Ottoman kini mencakup Anatolia, Afrika Utara, Levant, Balkan, seluruh Spanyol, dan koloni emas di Dunia Baru. Namun satu mimpi belum tercapai: menundukkan jantung Katolik Eropa dan menghancurkan Kekaisaran Romawi Suci.
Bagi para sultan Ottoman, Kekaisaran Romawi Suci bukan hanya musuh geografis, tapi simbol perlawanan Kristen Eropa terhadap dunia Islam. Sebuah konfrontasi besar antara dua imperium tak terhindarkan.
⚔️ Serangan ke Jantung Eropa
Pada tahun 1523, setelah serangkaian konsolidasi di Iberia dan Italia Utara, Ottoman mengalihkan fokus ke utara. Target pertama: Wina, ibukota Habsburg yang menjadi pintu masuk ke Kekaisaran Romawi Suci. Dengan pasukan Janissari, meriam besar, dan logistik yang diperkuat oleh kekayaan Dunia Baru, pengepungan Wina berlangsung cepat dan brutal.
Tidak seperti pengepungan tahun 1529 dalam sejarah asli yang gagal, kali ini armada logistik Ottoman dikawal oleh armada laut yang menguasai Laut Adriatik dan bahkan Sungai Donau. Wina jatuh pada musim gugur 1524, memicu kepanikan besar di seluruh Jerman dan Italia Utara. Gereja-gereja besar mulai menyembunyikan relik suci, biara-biara dievakuasi, dan banyak bangsawan memilih mengungsi ke utara.
🔥 Bangkitnya Islam di Tanah Jerman
Dengan jatuhnya Wina, jalur ke Bohemia, Bavaria, dan Austria Tengah terbuka lebar. Di kota-kota seperti Linz dan Salzburg, para pejabat Katolik menyerah tanpa perlawanan. Di beberapa wilayah Jerman, terutama yang sebelumnya terguncang oleh Reformasi Protestan, sebagian rakyat malah menyambut Ottoman dengan harapan pembebasan dari penindasan kekuasaan Katolik Roma.
Ottoman dengan cerdas menggunakan pendekatan diplomasi keagamaan. Mereka tidak memaksakan konversi, tapi menawarkan perlindungan terhadap minoritas Protestan yang tertindas, menciptakan aliansi politik baru. Di Nuremberg dan Frankfurt, masjid pertama di tanah Jerman dibangun, berdiri berdampingan dengan gereja-gereja tua.
🕍 Kejatuhan Roma: Simbol Kekuasaan Kristen
Pada tahun 1527, pasukan Ottoman bergerak ke selatan melalui Lombardia, dengan pasukan gabungan Muslim–Protestan yang marah pada otoritas Vatikan. Roma dikepung dari dua arah, dan tak seperti sejarah aslinya di mana pasukan Charles V menjarah Roma secara brutal, kali ini kota itu jatuh ke tangan Ottoman dengan strategis dan simbolik.
Paus melarikan diri ke Prancis. Basilika Santo Petrus tetap berdiri, tapi sebuah menara adzan dibangun di sampingnya, sebagai simbol bahwa Islam kini telah tiba di jantung Gereja Katolik.
🌍 Eropa dalam Bayang-bayang Bulan Sabit
Dengan kejatuhan Roma dan Wina, Kekaisaran Romawi Suci secara efektif hancur. Wilayah Jerman terpecah menjadi negara-negara kecil yang tunduk atau bersekutu dengan Ottoman. Prancis, yang sebelumnya menjadi kekuatan penyeimbang, memilih berdamai dan menjalin hubungan dagang dengan Istanbul.
Kekuasaan Ottoman di Eropa tidak hanya militer, tapi juga budaya dan ekonomi. Bahasa Arab dipelajari di universitas-universitas di Praha dan Cologne. Bursa Istanbul menggantikan Amsterdam dan Genoa sebagai pusat keuangan dunia. Kalender Hijriah mulai digunakan dalam urusan diplomatik internasional.
🏁 Penutup: Akhir Eropa Lama, Awal Dunia Baru
Di bawah bayangan kekuasaan Sultan Selim II, dunia menyaksikan transformasi peradaban yang luar biasa. Kekaisaran Romawi Suci tak lagi ada. Gereja Katolik kehilangan dominasi tunggalnya. Eropa berubah menjadi mosaik baru, di mana masjid berdiri di samping katedral, dan kitab suci dibaca dalam banyak bahasa.
Benua yang dahulu menjadi pusat kolonialisme, kini menjadi bagian dari imperium besar dunia Islam. Sebuah kekaisaran yang dimulai dari Konstantinopel, kini membentang dari Pasifik hingga Atlantik, dari Rusia hingga Sahara, dari Andes hingga Pegunungan Alpen.
Seandainya Mehmed II hidup lebih lama dan anak-anaknya mewarisi bukan hanya tahtanya, tapi juga semangat visinya—maka beginilah rupa dunia yang mungkin pernah terjadi.
Bayangan Bulan Sabit di Atas Albion: Ketika Ottoman Menyerang Kepulauan Britania
Tahun 1535. Lautan utara bergemuruh oleh suara dayung dan layar. Armada raksasa Ottoman yang belum pernah dilihat sebelumnya menyusuri Samudra Atlantik Utara. Bukan hanya kapal perang yang mereka bawa—tetapi pasukan elite Janissari, artileri berat, dan detasemen laut dari Spanyol Muslim, Afrika Utara, serta suku-suku Aztek yang kini telah bersyahadat dan menjadi bagian dari kekaisaran global Islam.
Target mereka jelas: Albion, tanah Britania Raya. Pulau ini telah lama menghindari konfrontasi langsung dengan Ottoman, bersembunyi di balik Selat Inggris dan berdoa agar perpecahan di benua mempertahankan jarak. Tapi dunia telah berubah. Ottoman kini menguasai daratan Eropa selatan dan tengah, dan lautan pun bukan lagi penghalang.
🌊 Penaklukan Dimulai: Skotlandia dan Irlandia Bangkit
Daratan pertama yang diserbu bukan Inggris, melainkan Skotlandia dan Irlandia. Ottoman paham, di sanalah perlawanan terhadap kerajaan Inggris paling besar. Para pemimpin suku Celtic dan bangsawan Gaelik yang muak dengan dominasi Inggris menyambut Ottoman sebagai pembebas. Janissari disambut seperti pahlawan di Derry dan Inverness.
Dalam waktu dua tahun, seluruh Irlandia dan Skotlandia berada di bawah protektorat Ottoman. Bahasa Arab disandingkan dengan Gaelik, dan kota Edinburgh kini berdiri megah dengan masjid berkubah emas di tengah kastil batu. Aliansi strategis dibentuk: Sultan Ottoman mengangkat para pemimpin lokal sebagai “amir wilayah”, memberikan mereka otonomi asalkan tunduk pada kekhalifahan.
⚔️ Pertempuran di Tanah Inggris: Kejatuhan London
Tahun 1538, pasukan gabungan Ottoman–Celtic–Moorish menyeberangi perairan menuju Inggris selatan. Raja Inggris, yang saat itu masih memerintah dari London, tidak pernah menghadapi ancaman sebesar ini. Benteng pantai dari Dover hingga Portsmouth dihancurkan oleh meriam laut Ottoman, yang telah teruji dalam perang-perang sebelumnya.
Dalam beberapa minggu, London dikepung. Tak seperti pengepungan bangsa Viking berabad-abad lalu, kali ini teknologi dan logistik Ottoman membuatnya tak tertahankan. Setelah tiga bulan, menara St. Paul’s Cathedral roboh oleh dentuman meriam, dan London menyerah.
Tidak ada pembantaian massal. Seperti di Roma dan Wina, Ottoman mendirikan sistem administrasi baru. Gereja-gereja besar diubah menjadi tempat wakaf atau madrasah. Inggris, tanah yang dahulu menentang dominasi Katolik Roma dengan Reformasi Protestan, kini tunduk kepada Istanbul—bukan sebagai musuh, tapi sebagai bagian dari Dar al-Islam yang baru.
🕋 Islam di Tanah Shakespeare
Yang paling mengejutkan dunia bukan hanya penaklukan militer, tetapi perubahan budaya yang cepat. Di Oxford dan Cambridge, kuliah tentang filsafat Yunani dan hukum Romawi kini disandingkan dengan tafsir Al-Qur’an dan ilmu falak. Ilmuwan Muslim dari Baghdad dan Andalusia mengajar di menara-menara gading Inggris.
Bahasa Arab menjadi bahasa kedua para cendekiawan. Syair-syair Shakespeare mungkin tak pernah ditulis, tetapi digantikan dengan epos-epos baru tentang pahlawan Janissari dan kesyahidan di medan perang. Masjid Jami’ Al-Londoniya, berdiri di bekas Istana Westminster, menjadi pusat ibadah terbesar di Eropa Barat.
🌍 Akhir Dunia Lama: Munculnya Kekhalifahan Global
Dengan runtuhnya Britania, seluruh Eropa kini berada di bawah kekuasaan atau pengaruh kekhalifahan Ottoman. Peradaban Islam menjelma bukan hanya sebagai kekuatan militer, tapi pusat ilmu, perdagangan, seni, dan diplomasi dunia. Dari Meksiko hingga Moskwa, dari Marrakesh hingga Manchester—satu jaringan dunia Islam terbentuk, menghubungkan timur dan barat.
Ottoman tidak hanya menguasai peta, tapi imajinasi masa depan umat manusia. Dunia modern, dalam versi ini, dibentuk bukan oleh Revolusi Industri di Inggris atau kolonialisme Eropa, tapi oleh sinergi ilmu pengetahuan Islam, budaya lintas benua, dan teknologi laut kekhalifahan.
🔚 Penutup: Ketika Sejarah Memilih Jalan Lain
Andai Sultan Mehmed II hidup lebih lama, dan visinya diwarisi secara utuh oleh keturunannya, dunia yang kita kenal mungkin tidak akan pernah ada. Tidak akan ada Imperium Inggris, tidak akan ada kolonialisme Anglo-Saxon, dan mungkin bahkan Amerika Serikat tak pernah berdiri.
Sebaliknya, panji hijau Ottoman mungkin berkibar di atas Kastil Windsor, dan nama-nama seperti Sulaiman dan Ali mungkin umum terdengar di jalanan London dan Dublin. Dan dunia, meski berbeda, mungkin tetap maju—namun dengan ruh yang lain, arah yang lain, dan sejarah yang berakar pada takbir, bukan lonceng.
Namun waktu adalah lawan yang tak bisa dikalahkan, bahkan oleh penakluk seagung Mehmed. Kematian datang tiba-tiba, dan semua rencana besar itu terkubur bersama tubuhnya. Para sejarawan hanya bisa berspekulasi, membayangkan bagaimana jadinya jika ia masih hidup. Apakah Roma akan tunduk? Apakah lonceng gereja di Paris akan digantikan dengan adzan subuh? Apakah bendera Ottoman akan berkibar di atas Menara London?
Kita tak akan pernah tahu dengan pasti. Tapi satu hal jelas: dunia belum pernah melihat pemimpin Muslim seambisius, secerdas, dan seberani Sultan Mehmed II. Seandainya takdir memberinya lebih banyak waktu, Eropa mungkin tidak akan menjadi seperti yang kita kenal hari ini.
(dmr)
Komentar