Oleh Mila Muzakkar *)
Setelah chaos, muncullah pengumuman: sejumlah anggota DPR RI dinonaktifkan. Tiga di antaranya artis yang dulu sempat hits—Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya. Sisanya? Crazy rich Tanjung Priok, Sahroni, plus Adies Kadir.
Beginilah cara kerja kebanyakan partai politik di negeri ini. Dibiarin dulu ribut, diviralin dulu, digeruduk dulu, bahkan sampai nyawa melayang dulu. Baru setelah api membesar, mereka sok datang memadamkan kebakaran.
Padahal kita tahu, kalau di jago merah udah melahap, masih mending kalau ada yang bisa diselamatkan.
Lalu setelah dinonaktifkan…apa?
Masalah selesai gitu?
Paling-paling emosi rakyat reda sebentar. Sementara aja.
Sayangnya, mereka selalu nganggep rakyat bodoh. Nggak paham aturan. Lupa kalau ada Google dan AI yang bisa ngasih jawaban.
Kita tahu kok, “nonaktif” bukan berarti dipecat. Mereka tetap anggota DPR, tetap terima sebagian gaji, dan kalau dalam tiga bulan evaluasi dianggap “layak”, ya balik lagi duduk di kursi empuk Senayan.
Di waktu yang sama, partai-partai besar—Demokrat, PKB, Gerindra, PDIP—ujug-ujug ngumumin setuju evaluasi usulan kenaikan tunjangan anggota DPR.
Mereka tiba-tiba vokal ngomongin soal aspirasi rakyat, transparansi, keadilan, etika, empati, sampai kecemburuan sosial. Bahkan ada aturan dadakan: anggota DPR dilarang plesiran ke luar negeri.
Pertanyaannya: loh, kok baru sekarang?
Hal-hal dasar kayak gini kan memang seharusnya jadi standar dari dulu.
Setelah mereka bilang menolak kenaikan tunjangan… lalu apa?
Masalah selesai gitu?
Kita juga tahu, ini cuma bumbu penyedap. Ranting-ranting kecil yang gampang gugur ditiup angin. Akar masalahnya belum tersentuh.
Ini lagu lama: trik klasik buat memadamkan kebakaran, menenangkan suasana, dan ngambil hati rakyat. Tapi sorry, kita udah dewasa. Kita bisa mikir jernih, pake nalar sekaligus pake hati.
Bukan itu masalahnya, Bro-Sist!
Masalahnya ada di mindset dan nurani kalian.
Sejak awal, waktu berencana jadi anggota DPR—entah niat sendiri atau dilamar partai—emang terpikir jadi jembatan ide dan harapan rakyat?
Emang kalian berangkat dari keresahan ngeliat kondisi rakyat, lalu terpanggil bikin perubahan?
Sadar nggak, bahwa mewakili rakyat artinya siap hidup sederhana kayak rakyat kebanyakan yang hidup miskin bukan karena malas, tapi karena ditindas sistem dan kuasa?
Emang nggak merasa aneh hidup glamour sementara rakyat yang gaji kalian aja kesusahan cari makan tiap hari?
Siap nggak mundur kalau merasa nggak mampu?
Nah, di situ masalah besarnya.
Yang terjadi malah kebalikannya. Mungkin nggak semua, tapi kebanyakan anggota DPR dari awal udah salah niat. Mereka ke Senayan buat harta dan kuasa. Minim rasa malu, bebal pula.
Jadi sudahlah. Berhentilah ngakalin rakyat. Kita bukan boneka, bro!
Syukur, teknologi sekarang bikin rakyat makin melek. Kita bisa belajar, bisa cari data, bisa ngulik aturan.
Dan justru dari situasi kayak gini, rakyat makin termotivasi untuk belajar, lebih peduli sesama rakyat, dan nggak gampang lagi dibodohin atau dimainkan penguasa.
1 September 2025
*) Pegiat Literasi AI & Founder Generasi Literat.
Komentar