Opinion
Beranda » Berita » Rumah 14 Meter²: Murah tapi “Menghancurkan” Martabat Konsumen

Rumah 14 Meter²: Murah tapi “Menghancurkan” Martabat Konsumen

Tulus Abadi.

Oleh Tulus Abadi *)

Pemerintah tengah mewacanakan pembangunan rumah subsidi berukuran hanya 14 meter persegi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), terutama di kawasan perkotaan. Dalihnya adalah keterbatasan lahan dan kebutuhan mendesak akan perumahan murah. Namun, pertanyaannya: apakah “murah” cukup jika yang dikorbankan adalah kesehat, kenyamanan, dan martabat warga negara?

Sebagai organisasi konsumen, kami menilai bahwa usulan ini adalah bentuk kemunduran dalam pemenuhan hak dasar atas hunian yang layak. Rumah bukan sekadar tempat berteduh. Rumah adalah ruang hidup yang membentuk kesehatan fisik, kestabilan emosional, hubungan keluarga, dan kualitas hidup secara menyeluruh.

Melanggar Standar Nasional dan Internasional

Ukuran 14 m² jelas tidak sesuai dengan standar minimal hunian. Menurut Peraturan Menteri PUPR No. 10 Tahun 2018, luas minimum ruang tinggal adalah 9 m² per orang. Jika rumah tersebut dihuni oleh keluarga dengan dua atau tiga anggota, maka sudah melanggar aturan yang ditetapkan negara sendiri.

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Menteri Kebudayaan Fadli Zon tak Usah Cari Sensasi

Lebih dari itu, UN-Habitat, lembaga PBB yang menangani pemukiman dan perumahan, menyebut bahwa rumah yang layak harus memiliki luas minimal 30 m² per rumah tangga, serta memenuhi standar pencahayaan, ventilasi, sanitasi, dan privasi. Ruang yang terlalu sempit bukan hanya tidak sehat, tetapi juga menciptakan stres dan konflik domestik.

Risiko Kawasan Kumuh dan Degradasi Sosial

Pengamat properti telah memperingatkan bahwa rumah super kecil akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari: overpopulasi, kawasan kumuh baru, konflik sosial, dan bahkan kejahatan. Rumah-rumah ini juga sulit ditinggali dalam jangka panjang karena tidak mampu mengikuti dinamika keluarga.

Ketika rumah tidak bisa berkembang seiring waktu, maka penghuni akan terpaksa pindah, meninggalkan rumah-rumah kosong dan lingkungan yang rusak. Apakah ini yang disebut keberhasilan pembangunan perumahan?

Hak Konsumen Dilanggar

Sebagai konsumen, masyarakat berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang dan jasa, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 4. Memberikan rumah yang secara desain tidak layak huni adalah bentuk pengabaian terhadap hak-hak tersebut.

Pemerintah dan pengembang tidak bisa sekadar menjual “murah” tanpa mempertimbangkan kualitas dan keberlangsungan. Rumah subsidi seharusnya menjadi jembatan menuju kehidupan yang lebih baik, bukan jebakan yang memiskinkan dari segi ruang dan martabat.

Solusi: Bangun Vertikal, Libatkan Konsumen

Forum Konsumen Berdaya Indonesia merekomendasikan dua langkah utama:

  1. Hentikan wacana rumah 14 m² dan lakukan audit ulang desain rumah subsidi yang telah diajukan.
  2. Fokus pada hunian vertikal yang layak dan terjangkau, terutama di kawasan seperti Jabodetabek yang memang terbatas lahannya.

Lebih dari itu, konsumen—terutama MBR—harus diajak bicara. Libatkan mereka dalam diskusi kebijakan. Jangan lagi jadikan mereka objek yang pasif, tetapi berdayakan mereka sebagai pemilik masa depan kota yang manusiawi.

Kita tidak butuh rumah murah yang memiskinkan jiwa. Kita butuh rumah layak yang mengangkat martabat. Jangan hanya mengejar target 3 juta rumah, tapi mengorbankan aspek kemanusiawian dalam menyediakan rumah murah bagi masyarakat.

Senin, 16 Juni 2025

*) Ketua FKBI (Forum Konsumen Berdaya Indonesia)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *