Oleh Mila Muzakkar *)
Orang yang kuliah di jurusan ekonomi, nantinya bakal bekerja di perusahaan. Mereka yang kuliah di jurusan fashion design, setelah lulus, bekerja di perusahaan desain atau buka butik sendiri. Yang kuliah jurnalistik, yah nanti jadi wartawan. Sementara yang lulusan kampus agama, akan beredar menjadi guru agama, pendakwah, atau ngurusin lembaga amil zakat.
Apa iya kayak gitu ceritanya? Realitanya, beda tuh.
Bill Gates, yang karyanya kita pakai sehari-hari di laptop itu, nggak pernah kuliah di jurusan komputer. Kuliahnya di jurusan hukum, udah gitu nggak selesai pula, trus memilih fokus mendirikan Microsoft. Bisnis yang omzetnya triliunan.
Yang punya Trans TV dan Bank Mega, dulu kuliah jurusan kedokteran gigi. Eh, bukannya buka klinik sendiri atau praktik di rumah sakit, dia malah bikin bisnis sendiri. Chairul Tanjung, namanya. “Si Anak Singkong”.
Beberapa waktu terakhir, aku juga bertemu orang-orang yang mengalami switch kayak gitu. Denny JA, salah satunya. Ia jebolan Fakultas Hukum, tapi nggak pernah jadi pengacara atau notaris. Malah ia mendirikan macam-macam bisnis, salah satunya bisnis konsultan politik.
Di kesempatan lain, aku silaturahmi ke beberapa senior Ciputat. Pertama, dengan Kak A.M. Fachir.
By the way, kalau aku nyebut Ciputat, berarti nggak jauh-jauh dari lingkaran IAIN/UIN Jakarta. Yes, banget. A.M. Fachir adalah lulusan Sastra Arab IAIN, trus pas lulus tiba-tiba ngelamar jadi diplomat.
Waktu ketemu di kantornya, Markas Besar Palang Merah Indonesia (PMI), aku menyimak panjang-lebar cerita perjalanan kariernya. Menjadi diplomat membawanya menjadi duta besar Mesir dan Arab Saudi, sampai menjadi Wakil Menteri Luar Negeri RI.
“Di manapun saya ditempatkan, saya selalu serius dan jalani dengan ikhlas,” kayak gitu kira-kira resep utamanya Kak Fachir.
Sekarang, selain menjadi Sekretaris Jenderal PMI, Kak Fachir juga aktif sebagai Komisaris PT. Freeport Indonesia.
See? Jurusan kuliah seringkali nggak nyambung sama pekerjaan di masa depan. Inilah yang kusebut switch kehidupan. Dari profesi A ke B, dari cara berpikir C jadi D.
Memang banyak faktor yang mempengaruhi situasi itu, misalnya, keadaan ekonomi yang membuat seseorang harus mengambil atau mencari pekerjaan di luar keahliannya, momentum yang dianggap tepat, dorongan dari orang-orang terdekat, atau terjadi perubahan pola pikir.
Dalam psikologi karier, career adaptability (Super & Knasel, 1981; Savickas, 1997–2005) menunjukkan keberanian dan kesiapan seseorang untuk berpindah jalur.
Kalau dalam sosiologi, ini istilahnya social mobility (Sorokin) yang menggambarkan kapasitas seseorang bergerak antarposisi sosial.
Kuncinya apa? Mau membuka diri pada hal-hal baru, berani belajar apa saja, dan menguatkan mental. Karena melakukan switch itu tantangan besar, loh!
***
Ingatanku tiba-tiba melayang ke masa kuliah di UIN Jakarta dulu, di jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
Waktu itu, jurusan ini tuh dikenal sebagai jurusan “pembuangan”. Yang masuk ke sini adalah mahasiswa yang nggak keterima di jurusan lain, atau minimal ini jurusan pilihan terakhir.
“Gue pengen pindah.”
“Gue nggak tahu mau jadi apa setelah lulus di sini.”
Kalimat dari teman-teman sejurusanku sering banget wara-wiri di telingaku.
Waktu itu, seingatku, akulah yang dengan percaya diri bilang ke mereka, “Kalau menurut aku sih tergantung kitanya. Kalau mau sukses ke depan, nggak tergantung dari kita kuliah apa.”
Bukan hanya ngomong gitu, dengan “sok jadi pahlawan”, beberapa kali aku meyakinkan teman-teman sekelasku yang mau pindah jurusan itu untuk optimistis, dan bahwa kita bisa dikenal dan berprestasi kayak mahasiswa jurusan lainnya.
Untuk prove itu, sejak semester dua, aku udah aktif di berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), di organisasi ekstrakurikuler, jadi pengurus BEM fakultas, bahkan jadi MC di acara lintas fakultas, yang bintang tamunya adalah artis yang lagi naik daun.
Belasan tahun berlalu. Sekarang, aku mendengar beberapa teman kelasku bekerja di bank, juga ada yang menjadi anggota DPRD. Sisanya, nggak tahu lagi kabarnya. Tapi mungkin, mereka juga mengalami switch kehidupannya masing-masing.
Andai aku ketemu lagi dengan teman-teman sekelasku yang dulu, atau ketemu siapapun yang punya pikiran kayak teman sekelasku dulu, aku cuma mau bilang…
“Hidup itu misterius, tapi justru itu yang bikin indah. Daripada kita sibuk menebak hasil, lebih baik sibuk menjemput kesempatan-kesempatan baik. Sisanya, biar Tuhan yang bekerja.”
Pondok Cabe, 19 Agustus 2025
*) Pegiat Literasi AI & Founder Generasi Literat
Komentar