JRMEDIA.ID — Rehabilitasi perlu dibakukan dalam penanganan hukum pada kasus penyalagunaan narkotika yang dilakukan oleh anak-anak. Ini lantaran memenjarakan anak tidak memberikan manfaat, justru sebaliknya anak akan terpapar oleh para terpidana usia dewasa.
“Saya setuju bahwa soal rehabilitasi ini harus dibakukan agar anak tidak perlu masuk penjara yang justru tak memberikan manfaat karena bercampur dengan para terpidana lainnya yang lebih dewasa. Oleh karena itu, gagasan rehabilitasi itu merupakan pilihan yang tepat,” ujar Ketua Senat Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun usai memimpin Sidang Terbuka Promosi Doktor atas nama B Patmawanti yang digelar di Kampus Unkris, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
Rehabilitasi itu sendiri, lanjut Prof Gayus, bentuknya ada dua macam yakni rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis berkaitan dengan pemberian obat-obatan agar anak dapat pulih, sehat kembali, dan terlepas dari jeratan narkotika. Sedangkan rehabilitasi sosial menyangkut bagaimana secara sosial keluarga dan masyarakat ikut mendukung pemulihan anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika tersebut agar tidak bersentuhan dengan pidana.
“Jika rehabilitasi sudah dibakukan dalam sistem pidana anak-anak pengguna narkotika, maka dengan sendirinya para hakim akan tunduk pada Undang-Undang dan mengutamakan hukuman rehabilitasi,” jelas Prof Gayus.
Mantan Hakim Agung RI tersebut juga menyoroti kemungkinan kambuh lagi pada anak pengguna narkotika ketika sudah usia dewasa. Dalam kasus seperti ini, ia lebih memilih menggunakan teori double jeopardy yakni suatu prosedur dalam pembelaan bagi terdakwa bahwa ia tak dapat diadili lagi berdasarkan dakwaan yang sama, berdasarkan suatu putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim.
“Dua kali menghadapi pengadilan yang subyek obyeknya tidak sama karena anak ini sudah dewasa, tentu berbeda perilaku, berbeda usia, berbeda kekuatan berpikirnya,” tegas Prof Gayus.
Namun dalam kasus seperti itu, Prof Gayus justru mempertanyakan rehabilitasi sosial. Artinya jika ada anak mengulangi perbuatannya menggunakan narkotika ketika usia dewasa, maka ada yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya dari lingkungan sosialnya. “Sebab kalau rehabilitasi sosial berjalan dengan baik, dalam arti ada pengawasan dari keluarga, masyarakat juga sekolahnya tentu hal itu tidak perlu terjadi. Anak tidak perlu menjadi terpidana lagi dalam kasus penyalahgunaan narkotika.”
Meski demikian, sambung Prof Gayus, dalam kasus pidana bagi pelaku penyalagunaan narkotika yang dilakukan seorang dewasa muda, hakim harus mempertimbangkan azas keadilan dan kebermanfaatan. Artinya, manfaat apa yang bisa diperoleh seseorang pelaku pengguna narkotika yang dipenjara jika harus bergaul dengan pecandu yang asli, bergaul dengan residivis yang memang pekerjaannya di lingkungan narkotika.
“Kemudian apakah adil, kalau anak ini memang tidak dibina secara cukup sebagai bentuk rehabilitasi sosial saat menjadi pengguna narkotika. Artinya keluarga tidak memperhatikan penuh, sekolah dan lingkungan tidak mendukung,” cetus Prof Gayus.
Sementara itu, Promovenda Patmawanti dalam penelitiannya melaporkan, anak sebagai pelaku penyalahguna narkotika yang sebelumnya diproses melalui proses peradilan pidana anak, kenyataannya putusan penjara diberikan sebagai reaksi terhadap anak pengguna. Artinya hal tersebut bertentangan dengan semangat untuk mengedepankan pemberian hak rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika terutama pelakunya adalah anak, dibandingkan dengan putusan yang bersifat kelembagaan apalagi putusan itu berupa putusan penjara.
Patmawanti berpendapat bila mencermati UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sebenarnya hakim tidak dapat menjatuhkan putusaan pidana penjara kepada terdakwa. Akan tetapi majelis dapat menjatuhkan putusan untuk direhabilitasi medis maupun sosial.
“Bahwa rehabilitasi bagi anak penyalahguna narkotika merupakan upaya pemulihan yang penting dan krusial. Formulasi kebijakan yang tepat dan komprehensif menjadi kunci dalam mewujudkan rehabilitasi yang efektif dan berkeadilan,” kata Patmawanti menandaskan.
Patmawanti yang merupakan seorang ibu rumah tangga berhasil mempertahankan disertasinya berjudul “Formulasi Kebijakan Penerapan Sanksi Rehabilitasi Sebagai Hukuman Terhadap Anak Sebagai Pelaku Penyalahguna Narkotika” dan berhak menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum dengan predikat cum laude.
(rilis/end)
Komentar