Hype
Beranda » Berita » Sejarah Alternatif: Ini yang Terjadi jika Cina dan Jepang Bersatu dalam Perang Dunia II

Sejarah Alternatif: Ini yang Terjadi jika Cina dan Jepang Bersatu dalam Perang Dunia II

Foto: Wang Jingwei, Presiden Republik Tiongkok Rezim Nanjing. (Sumber: Wikipedia).

JRMEDIA.ID — Di awal 1940-an, konflik internal yang mengancam kekuasaan Tiongkok telah memasuki babak baru. Chiang Kai-shek, pemimpin Republik Tiongkok (Cina) yang terkenal dengan perjuangannya melawan Jepang, menemukan dirinya berada dalam posisi yang lebih lemah.

Setelah serangkaian kekalahan di medan perang, ketegangan internal dalam Partai Nasionalis Kuomintang (KMT) semakin memburuk. Pemberontakan di dalam partai dan ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Chiang membuat ketegangan antara faksi-faksi dalam KMT semakin tak terkendali.

Pada tahun 1940, Wang Jingwei, seorang pemimpin yang sebelumnya merupakan anggota utama dalam pemerintahan Chiang, berhasil menggulingkan Chiang Kai-shek melalui serangkaian konspirasi dan aliansi dengan faksi-faksi militer yang kecewa. Wang, yang lebih moderat dalam sikap terhadap Jepang, berhasil meyakinkan sebagian besar pejabat militer dan politisi di Tiongkok bahwa kerja sama dengan Jepang adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan rakyat Tiongkok dan mencapai stabilitas.

Dengan bantuan Jepang, Wang Jingwei menjadi Presiden Republik Tiongkok yang baru dan mengalihkan kebijakan luar negeri negara itu menjadi lebih pro-Jepang. Pada awal 1941, Jepang mengakui Wang sebagai pemimpin sah Republik Tiongkok, mengubahnya menjadi puppet state yang sepenuhnya bersekutu dengan Blok Poros.

Menawarkan Pengalaman Berbeda, Inilah 5 Daya Tarik Australia Barat untuk Bisnis Pariwisata

Pada tahun 1937, meskipun Jerman sedang mempersiapkan agresi terhadap Eropa, mereka melihat keuntungan besar dalam mempererat hubungan dengan Republik Tiongkok. Jerman, yang sedang berada di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, sadar bahwa mengendalikan Cina, dengan sumber daya alamnya yang melimpah dan pasar tenaga kerjanya yang besar, akan memberi keuntungan besar dalam persaingan dengan Uni Soviet. Jerman juga menyadari bahwa Tiongkok, yang tengah berjuang melawan agresi Jepang di Manchuria, bisa menjadi sekutu yang penting dalam merusak posisi Rusia di Asia.

Pada tahun 1937, di tengah Perang Tiongkok-Jepang Kedua, Jerman Nazi memberikan bantuan militer kepada Republik Tiongkok (ROC). Bantuan ini tidak hanya mencakup senjata dan peralatan, tetapi juga pelatihan militer dan strategi. Jenderal von Falkenhausen, seorang perwira tinggi Jerman, menjadi penasihat utama bagi pasukan Tiongkok, membantu mengatur pasukan dan menyusun taktik yang lebih modern.

Selain itu, dengan kebijakan Blitzkrieg yang sedang berkembang di Eropa, Jerman mengajari pasukan Tiongkok tentang cara mengoptimalkan taktik serangan cepat dan penggunaan panzer (tank) dalam medan perang yang luas. Seiring berjalannya waktu, hubungan ini semakin erat, bahkan setelah peristiwa invasi Jepang ke Tiongkok.

Menyadari potensi besar yang dapat diperoleh dari sebuah aliansi militer dengan Cina, Hitler mulai mengembangkan strategi untuk menjadikan Tiongkok sebagai sekutu kunci dalam menghadapi ancaman dari Uni Soviet. Hitler, yang pada saat itu terfokus pada agresi terhadap Polandia dan Eropa Timur, tahu bahwa mengerahkan kekuatan ekstra di Asia akan memberi tekanan besar pada Rusia. Dalam pandangannya, sebuah aliansi dengan Tiongkok akan memberikan pasokan bahan baku dan tenaga kerja yang sangat diperlukan dalam menghadapi potensi Perang Dingin dengan Soviet.

Namun, ini bukanlah keputusan yang mudah, karena Jepang—meskipun sudah lebih dulu terlibat dalam agresi di Manchuria dan Tiongkok—adalah bagian dari Blok Poros. Jepang mungkin merasa terancam oleh potensi persaingan Cina yang didukung oleh Jerman di Asia. Mengantisipasi masalah ini, Hitler melakukan diplomasi dengan Jepang. Pada tahun 1939,

Kolaborasi dengan Jendela Puspita, Vasaka Hotel Jakarta Kembali Menggelar Lomba Mewarnai

Jerman menawarkan dukungan politik dan militer terhadap ekspansi Jepang di Asia Tenggara, termasuk terhadap Indochina yang dikuasai oleh Prancis. Hal ini memberi Jepang jalan untuk memperluas wilayahnya di Asia Tenggara tanpa takut akan campur tangan dari Eropa. Dengan Jepang tetap fokus pada Asia, Jerman bisa lebih bebas dalam menyerang Polandia dan memulai Perang Dunia Kedua.


Aliansi Poros dan Ekspansi Bersama

Segera setelah Wang Jingwei mengambil alih kekuasaan, Jepang mengajukan tawaran untuk bekerja sama dalam ekspansi militer di Asia. Sebagai bagian dari aliansi, Jepang meminta agar Republik Tiongkok mengerahkan pasukannya untuk membantu invasi Asia Tenggara, Pasifik, dan Australia, dengan janji balasan untuk membantu Republik Tiongkok merebut British Raj di India.

Jepang membutuhkan bantuan Cina dalam serangan terhadap Asia Tenggara, terutama untuk memperkuat kontrol atas wilayah yang kaya sumber daya seperti Indochina (Vietnam, Laos, Kamboja) dan Malaya, serta untuk menguasai Australia yang dianggap vital dalam memperluas kekuasaan Blok Poros.

Sebagai imbalannya, Jepang berjanji untuk membantu Wang Jingwei dalam menggulingkan kekuasaan Inggris di India dan mengalihkan kekuasaan kepada Republik Tiongkok. Wang, yang melihat potensi keuntungan geopolitik dalam aliansi ini, menerima tawaran tersebut dan mulai mengerahkan pasukan Tiongkok untuk bergabung dengan pasukan Jepang dalam invasi besar-besaran.


Invasi Asia Tenggara dan Pasifik

Pada akhir 1941, pasukan gabungan Tiongkok dan Jepang menyerbu Asia Tenggara. Pasukan Republik Tiongkok membantu Jepang dalam memukul mundur pasukan Inggris di Burma, serta mengambil alih Malaya dan Singapura, yang jatuh ke tangan Jepang pada Februari 1942. Cina juga terlibat dalam invasi ke Indonesia dan Filipina, serta menggempur pasukan Australia yang hanya mampu bertahan dengan bantuan dari Amerika Serikat.

Film M3GAN 2.0 Suguhkan Aksi Pertarungan Robot AI

Dengan dukungan penuh dari Republik Tiongkok, pasukan Jepang berhasil menaklukkan sebagian besar Asia Pasifik, dan dalam beberapa bulan, Australia pun terperosok ke dalam pendudukan Jepang dan Cina.

Namun, strategi ini bukan tanpa korban. Pasukan Allied—terutama Amerika Serikat dan Inggris—berusaha keras membalas dengan serangan balasan dari udara dan laut, tetapi aliansi Cina-Jepang semakin memperkuat cengkeraman mereka di kawasan tersebut.


Invasi ke British Raj

Sebagai bagian dari kesepakatan antara Wang Jingwei dan Jepang, Invasi ke British Raj di India dimulai pada 1943. Jepang mengirim pasukan ke Burma dan memulai serangan ke India melalui Bengal dan Punjab. Pasukan Cina, yang kini telah dipersenjatai dengan teknologi Jepang, bergerak melalui Nepal dan bagian barat India, membantu menghancurkan pertahanan Inggris di perbatasan utara.

Pada 1944, Kolkata (Calcutta) jatuh ke tangan pasukan gabungan Tiongkok-Jepang, dan seluruh British Raj hampir hancur. Inggris berusaha mengerahkan pasukan dari Timur Tengah dan Afrika, namun karena ketegangan internasional dan serangan Amerika Serikat di Eropa, Inggris tidak mampu mengirim bantuan besar ke India.

Di bawah tekanan ini, Inggris terpaksa menyerahkan kekuasaan atas India, dan Republik Tiongkok mendirikan negara boneka yang dipimpin oleh Wang Jingwei di New Delhi. India akhirnya menjadi bagian dari Republik Tiongkok, meskipun dengan otonomi terbatas.


Dampak Global dan Perubahan Dunia

Dengan bergabungnya Cina dalam Blok Poros, keseimbangan kekuatan dunia berubah drastis. Amerika Serikat yang berada di pihak Sekutu, harus menghadapi ancaman yang lebih besar di Asia dan Pasifik. Pasukan gabungan Cina-Jepang semakin mendominasi wilayah tersebut, sementara Inggris dan negara-negara Eropa lainnya harus berjuang untuk mempertahankan koloninya.

Dengan keberhasilan Republik Tiongkok menggulingkan kekuasaan Inggris di India dan memperluas pengaruhnya, Wang Jingwei menjadi figur yang sangat berpengaruh di Asia. Walaupun tetap merupakan boneka Jepang dalam banyak hal, Wang memanfaatkan posisinya untuk memperkuat Cina sebagai kekuatan regional.

Di sisi lain, Jepang berhasil mewujudkan “Greater East Asia Co-Prosperity Sphere” yang tidak hanya menggabungkan negara-negara Asia, tetapi juga menciptakan tatanan dunia yang didominasi oleh kekuatan Jepang dan Cina, yang menggulingkan hegemoni Barat.


Dunia Baru, Perang yang Tak Berakhir

Namun, sejarah ini juga mencatatkan perjuangan yang lebih panjang. Sebagaimana dalam skenario ini, Perang Dunia Kedua tidak berakhir pada tahun 1945. Sebaliknya, perang terus berkecamuk antara aliansi Cina-Jepang dan negara-negara Sekutu yang berusaha menggulingkan kekuasaan Asia ini. Sementara itu, ketegangan antara Cina dan Jepang juga terus meningkat seiring dengan ambisi keduanya untuk menguasai lebih banyak wilayah dan memperkuat posisi mereka di dunia.

Wang Jingwei, meskipun menjadi pemimpin di atas kertas, akhirnya menghadapi dilema antara mempertahankan kemerdekaan Tiongkok atau semakin terperangkap dalam cengkeraman Jepang. Dunia yang terbentuk oleh persatuan Cina dan Jepang adalah dunia yang penuh dengan ketidakpastian, pertempuran, dan kekuasaan yang saling berebut.

(dmr)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *