Opinion
Beranda » Berita » Rojali, Rohana, dan Bisnis Etis di Era Digital

Rojali, Rohana, dan Bisnis Etis di Era Digital

Rojali, Rohana, dan Bisnis Etis di Era Digital.

Oleh Mila Muzakkar *)

“Mall makin ramai, tapi tenant pada tutup. Apa yang salah? Apa benar daya beli masyarakat Indonesia menurun? Atau cara kita belanja yang udah berubah?”

Fenomena Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya-nanya) lagi ramai nih dibicarakan. Banyak orang bilang ini tanda turunnya daya beli masyarakat. Tapi benar nggak sih kayak gitu?

Kalau kita cek data dari Mid-Year Consumer Outlook: Guide to 2025, justru konsumen Indonesia masih tetap aktif membeli produk dan layanan, meskipun harga-harga naik. Bedanya, sekarang tuh mereka lebih selektif, eksperimental, dan sadar merek.

Konsumen hari ini, terutama generasi muda, bukan cuma beli produk, tapi beli pengalaman, narasi, dan value yang mewakili identitas mereka. Mereka lebih mikir: “Brand ini sesuai nggak sih sama nilai hidupku?”

Mengenal Wajah Indonesia di Perbatasan Kalbar

Inilah realitas baru dunia bisnis. Lanskapnya udah berubah. Teknologi digital bukan cuma alat transaksi, tapi udah jadi “ruang hidup” baru. Di sana, identitas dibentuk, aspirasi dibangun, dan keputusan dibeli.

Dunia bisnis hari ini bukan soal siapa yang paling jago dan paling cepat menjual, tapi siapa yang paling bisa membangun makna. Dan ini penting dipahami para marketer.

Marketer Kritis

Seorang marketer zaman now nggak cukup hanya jago bikin iklan atau ngatur distribusi. Ia harus menjadi “critical marketer”.

Siapa itu marketer kritis? Mereka yang punya empati, sadar konteks sosial, ngerti dinamika psikologi konsumen, dan bisa merespons zaman dengan cara yang bijak dan berdampak.

Menelisik Potensi Pulau Habe di Ujung Timur Indonesia

Dulu, konsumen ya konsumen: beli produk atau jasa karena butuh. Sekarang? Mereka beli karena nilai, cerita, bahkan aktivisme yang melekat pada brand.

Laporan PwC’s Voice of the Consumer 2025 menyebutkan bahwa konsumen, terutama Gen Z dan Milenial, tidak sekadar membeli produk, tapi membeli narasi dan identitas. Mereka makin cerdas, makin peduli dengan sustainability, dan makin ingin merasa “terwakili” oleh brand yang mereka pilih.

Kebutuhan Bergeser, Prioritas Berubah

Teori piramida kebutuhan manusia yang dikenalin sama Abraham Maslow rasanya mulai dibolak-balik oleh realita. Kebutuhan eksistensi diri dan self-esteem sekarang seringkali didahulukan daripada kebutuhan fisiologis (sandang, pangan, papan).

Lihat aja faktanya sekarang. Sebagian konsumen muda lebih memilih ngontrak rumah, ngekost, dan naik kendaraan umum, demi bisa jajan skincare, nongkrong di café estetik, healing ke luar kota, atau nonton konser K-Pop.

Dunia Only

Kenapa? Bukan karena mereka hedon. Tapi Karena ini cara mereka menjaga kesehatan mental dan eksistensi sosial. Kegiatan yang dulu dianggap hedonis, sekarang jadi bentuk self-care. Bahkan jadi bagian dari cara mereka “bernapas” di tengah tekanan hidup dan algoritma media sosial.

Tapi bukan berarti semua baik-baik aja. Sisi gelapnya juga ada, istilah bisnisnya tuh, “the dark side of consumer behaviour”. Fenomena FOMO (fear of missing out), impulsive buying, dan tekanan citra sosial bikin banyak anak muda kehilangan kontrol. Kadang, mereka nggak mikir panjang sebelum membeli. Pokoknya mereka pengen ikut mencoba brand atau lifestyle yang lagi viral.

Aku jadi ingat kasus remaja di Pemalang yang menodong pisau dapur ke ibunya karena nggak bisa bayar COD skincare. Kisah ini juga aku tulis di buku kumpulan puisi esai “Karena Perempuan, Aku Di-Cancel”. Ini contoh nyata ketika narasi standar kecantikan berhasil memenangkan algoritma.

Pola lain yang juga aku amati dari konsumen masa kini tuh pergeseran fungsi tempat makan. Restoran cepat saji, kayak McD atau KFC, dulu identik dengan makan cepat. Sekarang? Orang datang ke restoran itu untuk meeting, nongkrong, bahkan ngonten.

Kafe bukan sekadar tempat minum kopi lagi. Tapi jadi ruang perjumpaan, tempat konten, dan ekspresi identitas. Content Creator, bahkan sengaja datang ke tempat-tempat kuliner untuk me-review, mengambil video dan gambar yang estetik, lalu posting di medsos.

Bukan sekadar konten nih, tapi menjadi pekerjaan dan penghasilan utama. Jangan heran, saat ini, banyak Content Creator yang kaya mendadak, punya rumah dan mobil mewah hanya dari hasil ngonten.

Nggak heran juga, sebuah survei menunjukkan Generasi Alpha (generasi yang lebih muda dari Gen-Z) bercita-cita menjadi Content Creator, khususnya Youtuber, karena tergiur dengan cuan dari hasil ngonten.

Gimana dengan pola belanja? Konsumen muda, terutama Gen Z, lebih senang mencari referensi dan berbelanja via digital. Menurut Qasa Consulting (2025), 67% Gen Z lebih percaya rekomendasi micro-influencer daripada iklan TV. 55% cek TikTok dulu sebelum belanja. Dan 70% dari mereka bayar belanjaan pakai e-wallet.

Jadi kalau mall sepi pembeli, itu bukan berarti daya beli menurun. Tapi pola belanja sudah berpindah ke digital.

Bisnis Etis, Bisnis Kekinian

Dulu, aku pikir bisnis itu hanya soal profit. Mungkin karena aku lama bergelut di NGO dan gerakan sosial, jadinya memandang bisnis cenderung eksploitatif.

Setelah belajar, ternyata bisnis tuh tujuannya sangat mulia: menyediakan kebutuhan manusia. Bisnis bisa banget jadi ladang kebaikan, asal dijalankan dengan nilai-nilai etis, atau disebut bisnis etis.

Kayak gimana bisnis etis itu? Singkatnya, bisnis yang adil pada lingkungan dan sesama, yang menghargai keberagaman, yang jujur pada konsumen, dan sustainable secara jangka panjang.

Dan ini bukan idealisme kosong. Konsumen muda hari ini benar-benar peduli pada brand yang punya misi sosial. Mereka juga nggak segan-segan memboikot brand yang dianggap nggak berperikemanusiaan.

Di tengah perubahan landscape bisnis, aku percaya bisnis pun harus ikut berubah. Bukan sekadar jualan, bukan sekedar ngejar cuan, tapi membangun makna. Bukan sekadar branding, tapi memberi nilai.

Inilah era di mana critical marketer dibutuhkan: pemasar yang peduli dan berempati pada konteks sosial, budaya, dan keberlanjutan.

American Marketing Association bilang: marketing adalah proses menciptakan dan menyampaikan value yang berarti bagi konsumen dan masyarakat.

Maka tugas marketer bukan hanya menjual, tapi memudahkan hidup, memberi solusi, dan membawa misi kemanusiaan. Contohnya bisa kita lihat brand kayak L’Oreal, Dove, dan Sukka Chitta. Mereka membangun merek lewat narasi pemberdayaan perempuan, keberlanjutan, dan inklusi sosial. Bukan sekadar kemasan cantik, tapi juga dampak positif yang nyata.

Dunia nggak lagi butuh marketer yang cuma pintar strategi, tapi juga punya empati dan tanggung jawab moral.

Bagi aku, bisnis etis bukan sekedar tren. Tapi jalan pulang. Karena pada akhirnya, bisnis yang berpihak pada manusia dan bumi, akan bertahan lebih lama dan memberi makna lebih dalam.

Agustus 2025

*) Penulis adalah Pegiat Bisnis Etis

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *