News
Beranda » Berita » Pedagang Online akan Terkena Pajak Lewat Marketplace, Ini Penjelasannya

Pedagang Online akan Terkena Pajak Lewat Marketplace, Ini Penjelasannya

Toko online/ilustrasi. (Foto: Pixabay)

JRMEDIA.ID — Pemerintah Republik Indonesia (RI) sedang menyiapkan aturan baru yang mewajibkan platform e-commerce seperti marketplace Tokopedia, Shopee, Shop Tokopedia, Lazada, dan lainnya untuk memotong langsung pajak penghasilan (PPh) dari penjual (seller) yang bertransaksi di platform masing-masing. Langkah ini disebut sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan level persaingan yang setara antara pelaku usaha online dan toko fisik.

Jika aturan ini resmi berlaku, maka penjual akan menanggung biaya pajak yang harus disertorkan ke platform. Dengan demikian, bukan tidak mungkin harga barang di online shop akan ikut naik.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI Rosmauli dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (26/6/2025), menyatakan, rencana penunjukan lokapasar (marketplace) sebagai pemungut PPh 22 atas transaksi merchant di Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) pada dasarnya mengatur pergeseran (shifting).

Bila sebelumnya mekanisme pembayaran PPh dilakukan secara mandiri oleh pedagang daring (online), diubah menjadi sistem pemungutan pajak yang dilakukan oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk.

“Kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar pajak penghasilan, namun justru memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan karena proses pembayaran pajak dilakukan melalui sistem pemungutan yang lebih sederhana dan terintegrasi dengan platform tempat mereka berjualan,” kata Rosmauli.

Kekayaan Bos PT Gudang Garam Menyusut Lebih dari Rp 100 Triliun! Ini Penyebabnya

Rosmauli pun menegaskan yang menjadi sasaran aturan baru ini merupakan pedagang daring yang memiliki omzet di atas Rp 500 juta per tahun. Artinya, UMKM di platform marketplace yang memiliki omzet di bawah Rp 500 juta per tahun tidak dikenakan pungutan PPh dalam skema ini, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Menurut Rosmauli, inisiatif pemerintah menyusun skema ini bertujuan untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antarpelaku usaha, tanpa menambah beban atau menciptakan jenis pajak baru.

Ketentuan ini juga bertujuan untuk memperkuat pengawasan dan menutup celah aktivitas ekonomi tersembunyi atau shadow economy, khususnya dari pedagang daring yang kurang memahami atau enggan menghadapi proses administratif perpajakan yang dianggap rumit.

“Dengan melibatkan marketplace sebagai pihak pemungut, diharapkan pemungutan PPh Pasal 22 ini dapat mendorong kepatuhan yang proporsional, serta memastikan bahwa kontribusi perpajakan mencerminkan kapasitas usaha secara nyata,” jelas Rosmauli.

Namun, aturan baru ini masih dalam tahap finalisasi. Rosmauli menjamin penyusunan kebijakan ini telah melalui proses meaningful participation, yakni kajian dan pembahasan bersama pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri niaga elektronik dan kementerian/lembaga terkait.

Kebijakan Zero ODOL, Muchtar Said: Sopir yang Jadi Korban Sistem bukan Pelaku Kejahatan Jalan

Rosmauli lantas menyebut rencana aturan tersebut mendapatkan respons yang positif sejauh ini, menunjukkan dukungan terhadap tujuan pemerintah dalam mendorong tata kelola pajak yang lebih adil dan efisien seturut dengan perkembangan teknologi informasi. “Kami memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karena itu, apabila aturan ini telah resmi ditetapkan, kami akan menyampaikan secara terbuka, lengkap, dan transparan kepada publik,” ujar dia menandaskan.

(end)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *