Opinion
Beranda » Berita » Mubazir dalam Kesenangan

Mubazir dalam Kesenangan

Muhamad Rubiul Yatim. (Foto: dok.pribadi)

Oleh Muhamad Rubiul Yatim *)

Setiap orang tentu senang dan bahagia ketika mampu melakukan kegiatan atau perjalanan yang sifatnya rekreasi dan melepas kepenatan. Bahkan tidak jarang agenda kesenangan ini menjadi prioritas utama setiap kali tiba masa liburan atau masuk waktu akhir pekan.

Segala sumber daya akan dikeluarkan secara maksimal guna mewujudkan liburan yang berkualitas dan penuh dengan warna suka cita. Berharap dari aktivitas itu akan tergapai kebahagiaan hakiki yang didambakan melalui kegiatan wisata dan rekreasi tersebut.

Pada saat yang sama; di sisi yang berbeda, masih banyak dari keluarga/kerabat, tetangga, teman sejawat dan warga masyarakat di lingkungan sekitar kita ternyata kondisi hidup mereka dalam keadaan berkekurangan dan berkenestapaan. Berbagai kebutuhan pokok dan utamanya saja masih belum dapat terpenuhi secara standar kelayakan lantaran keadaan ekonominya yang terpuruk dan penuh kelemahan.

Kondisi terpuruk dalam kesulitan itu bukan karena kemalasan atau kelalaian yang diperbuat oleh tangan-tangan mereka. Namun realita kehidupan yang penuh ketidakpastian di tengah krisis dan resesi ekonomi yang tak berkesudahan yang telah mengambil peran besar terciptanya kemiskinan di berbagai pihak.

Saat Hanya Bertanya MBG, Wartawan CNN “Diusir” dari Istana

Mencermati kondisi dan keadaan tersebut, maka orang yang saleh dan bertakwa tentu akan bersikap arif, bijak, dan penuh kewaspadaan. Tidak patut bagi dirinya hanya sekadar berpikir untuk mengejar kesenangan pribadi dan kebahagiaan keluarga intinya saja.

Orang yang baik, benar, dan lurus tentu akan selalu memperhatikan dengan seksama kondisi orang-orang yang ada di sekeliling dirinya. Matanya jeli untuk melihat secara serius kondisi kerabatnya (orang tua, kakak, adik, paman, bibi), tetangga kanan kiri depan belakang rumahnya, karyawan dan cleaning service atau teman sejawat di tempat kerjanya, dan orang umum yang ada di lingkungan aktivitasnya, yang masih terpuruk dan lunglai kekuatan ekonominya. Jika ada, maka ia akan turun tangan membantu sekuat kemampuannya agar mereka dapat keluar dari kesulitan yang ada.

Sisihkan uang dan harta yang dimiliki untuk menolong dan membantu orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Tangguhkan perjalanan wisata dan rekreasi yang biasa kita lakukan di akhir pekan atau di saat liburan guna mengeluarkan kerabat, tetangga, teman sejawat, dan lainnya yang sedang terpuruk serta terjerambab dalam kesusahan.

Apabila itu mampu kita amalkan, maka berarti kita tidak dikategorikan sebagai pelaku pemborosan dan menghambur-hamburkan harta (mubazir). Oleh karena orang yang mubazir adalah orang yang menggunakan uang dan harta yang dimilikinya sesuai syahwat nafsu pribadinya tanpa memedulikan kondisi kerabat, tetangga, teman sejawat, dan orang yang ada di sekitarnya.

Ketahuilah bahwa orang yang selalu mubazir dan tidak peduli dengan keadaan orang lain yang ada di sekelilingnya adalah saudara dan teman dekat dari setan. Padahal setan itu adalah makhluk yang telah divonis sebagai hamba yang paling ingkar dan membangkang terhadap Allâh Azza wa Jalla.

Ini Kumandang Cinta

Perhatikan firman Allah SWT dalam surat Al Isra ayat 26-27 berikut ini:

وَاٰتِ ذَا الۡقُرۡبٰى حَقَّهٗ وَالۡمِسۡكِيۡنَ وَابۡنَ السَّبِيۡلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيۡرًا

Artinya: “Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”

اِنَّ الۡمُبَذِّرِيۡنَ كَانُوۡۤا اِخۡوَانَ الشَّيٰطِيۡنِ‌ ؕ وَكَانَ الشَّيۡطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوۡرًا

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Lepaskan Dunia Sejenak

Boros atau mubazir dalam makna yang luas adalah menghambur-hamburkan harta pada tempat yang tidak berguna dan sia-sia untuk dunia dan akhiratnya. Adapun boros dalam makna khusus adalah tidak menggunakan atau memanfaatkan nikmat harta yang dimiliki secara optimal dan tepat guna sesuai dengan yang seharusnya sebagaimana yang telah diarahkan oleh agama.

Berbahagia sendiri di atas jeritan kesulitan kerabat dan tetangganya merupakan tanda hilangnya kepekaan nurani di dalam jiwa. Tertawa dalam kesenangan di berbagai tempat wisata dan rekreasi dengan seluruh akomodasi yang menghabiskan uang banyak tanda telah matinya hati dalam sanubari pelakunya. Semua dilakukan di saat kondisi kerabat dan teman sejawatnya menangis dalam diam karena tak mampu memberi makan yang layak untuk keluarganya dan memenuhi biaya hidup sehari-harinya.

Renungilah sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ: لاَ تُكْثِرُوا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ.

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian memperbanyak tertawa karena sungguh banyaknya tertawa itu dapat menyebabkan matinya hati.” (HR Imam Ibnu Majah, Ahmad dan Tirmidzi)

Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ فِي الْخَيْرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا قَالَ فَمَا أَتَى عَلَى أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمٌ أَشَدُّ مِنْهُ قَالَ غَطَّوْا رُءُوْسَهُمْ وَلَهُمْ خَنِيْنٌ

Artinya: “Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Anas bin Malik –perawi hadits ini mengatakan, “Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat bagi para sahabat selain hari itu. Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan.” [HR. Muslim, No. 2359]

Semoga Allah SWT menjauhi kita dari sikap boros atau mubazir dalam penggunaan uang dan harta yang dititipkan-Nya. Selalu berempati dan ringan tangan berbagi terhadap kerabat dekat, tetangga sekitar, dan teman sejawat yang kondisi hidupnya miskin dan papa serta kekurangan harta.

Jakarta, 5 Oktober 2025

*) Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Pancasila Jakarta dan Anggota Korps Mubaligh Khairu Ummah.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *