Oleh Mila Muzakkar *)
Bukan hanya di Bangka Belitung, kisah sekolah seperti di film Laskar Pelangi sebenarnya ada di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk di Sabah Malaysia.
Beberapa hari lalu, ketika menghadiri Festival Puisi Esai ASEAN di Kota Kinabalu, Sabah-Malaysia, aku, Bang Jonminofri, Kak Fatin Hamamah, Mas Gol a Gong, dan ditemani pengurus Dewan Bahasa Kota Kinabalu, sempat berkunjung ke Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK). Kami adalah perwakilan Komunitas Puisi Esai dari Indonesia yang diutus oleh Denny JA Foundation.
Di lapangan SIKK, puluhan kopor milik siswa tertata. Para siswa sibuk hilir mudik. Di sana, juga terpampang baliho besar bertulis, “Kembalilah Ke Indonesia Kita.”
Kami datang bertepatan dengan momen di mana ratusan siswa lulusan dari beberapa sekolah yang tersebar di sekitar Sabah, berkumpul. Mereka adalah anak-anak yang mendapatkan Beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (Adem).
Tahun 2025 ini, ada sekitar 591 siswa penerima beasiswa Adem, yang merupakan anak pekerja buruh migran di Malaysia. Di berbagai SMA/SMK di Indonesia, mereka akan mengadu nasib. Dengan harapan, setelahnya dapat melanjutkan ke jenjang universitas, bekerja, dan hidup sejahtera di Indonesia, bukan di negeri orang. Begitulah cita-cita umumnya.
Aku sempat ngobrol dengan beberapa siswa tentang perasaannya yang akan terbang ke Indonesia. Ke negara yang selama ini tak pernah mereka datangi, sebab mereka sekeluarga lahir dan tinggal di Sabah.
“Senang,” ucapnya.
“Gimana dengan keluarga, kan kalian selama Indonesia pisah sama keluarga?” tanyaku.
Sejenak diam, lalu mereka jawab “Yah sedih juga. Tapi nanti kalau sudah sukses saya bisa bahagiakan orang tua.”
Kini, mereka telah tiba di Indonesia. Siap untuk dikirim ke Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan wilayah lainnya.
Dari SIKK, kami melanjutkan perjalanan ke daerah Kundasang untuk mengunjungi salah satu sekolah-bagian dari SIKK. Perjalanan ditempuh sekitar 2,5 jam dari Kota Kinabalu.
Mirip dengan gambaran sekolah Laskar Pelangi, begitulah kondisi salah satu sekolah anak-anak buruh migran di Sabah.
Secara fisik, bangunan sekolah masih memprihatinkan. Terbuat dari dinding triplek, beralas tanah, dengan kursi plastik. Selain itu, kabarnya, ketersediaan guru dan buku-buku juga masih menjadi masalah. Tak usah bicara soal WC dan sanitasi, lebih dari memprihatinkan.
Beruntung, cita-cita dan mimpi hidup lebih baik di masa depan dari anak-anak Indonesia ini melampaui kondisi sekolahnya. Begitu pula yang ditampilkan dalam film Laskar Pelangi, bukan?
Kerja sama baik antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Sabah Malaysia yang mengadakan SIKK di Sabah, tentu perlu kita apresiasi. Namun, langkah lebih maju perlu disegerakan.
Selain pemenuhan akses SDM dan sarana pendidikan yang lebih baik, akar masalah yaitu solusi untuk penduduk Indonesia agar tak lagi menjadi buruh migran illegal di negara orang, penting menjadi perhatian.
Menyediakan akses keadilan dan kesejahteraan masyarakat adalah kunci utama. Sebab jika tidak, itulah alasan utama mengapa rakyat pergi dari negaranya.
Depok, 8 Juli 2025
*) Training & Development Consultant (Catatan saat mengunjungi Sekolah Indonesia Kota Kinabalu, Sabah-Malaysia, sebagai rangkaian dari Festival Puisi Esai ASEAN)
Komentar