News
Beranda » Berita » Kebijakan Zero ODOL, Muchtar Said: Sopir yang Jadi Korban Sistem bukan Pelaku Kejahatan Jalan

Kebijakan Zero ODOL, Muchtar Said: Sopir yang Jadi Korban Sistem bukan Pelaku Kejahatan Jalan

Kegiatan LBH Jakarta yang diiikuti oleh Said Muchtar (kedua dari kiri) belum lama ini. (Foto: Istimewa)

JRMEDIA.ID — Ketua Lembaga Bantuan Hukum Dewan Pimpinan Pusat (LBH DPP) Sarikat Muslimin Indonesia (Sarbumusi), Muchtar Said, menegaskan bahwa para sopir truk Over Dimension Over Loading (ODOL) bukanlah pelaku utama kerusakan jalan dan pelanggaran lalu lintas, melainkan korban dari sistem yang tidak adil dan eksploitatif.

“Para sopir hanya pengirim, bukan pemberi kerja. Dalam rantai distribusi logistik, posisi mereka paling bawah. Mereka terpaksa membawa muatan berlebih karena tekanan dari berbagai pihak,” ujar Muhtar Said, yang akrab disapa Gus Said, dalam keterangannya kepada media, di Jakarta, Selasa (24/6/2025).

Said yang juga merupakan dosen hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) menyampaikan bahwa banyak sopir ODOL yang terpaksa melanggar aturan karena sistem yang korup dan tidak berpihak. “Sopir ini seringkali dipaksa mengangkut melebihi kapasitas karena tiga hal: pungli dari oknum, tekanan preman di lapangan, dan keinginan pemberi kerja yang mementingkan efisiensi biaya tanpa peduli risiko,” jelasnya.

Pernyataan tegas pria yang juga merupakan Ketua Lazisnu Kota Depok itu muncul di tengah meningkatnya polemik terkait kebijakan Zero ODOL yang sedang diterapkan pemerintah. Kebijakan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Kebijakan Zero ODOL, menurut pemerintah, penting untuk menekan angka kecelakaan, melindungi infrastruktur jalan dan jembatan, serta mengurangi emisi karbon akibat konsumsi bahan bakar berlebih dari truk-truk bermuatan tidak sesuai.

Menko Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar: Bansos tak Lagi Bersifat Permanen, Kecuali…

Namun, dalam praktiknya, para sopir ODOL merasa terjepit. Ribuan dari mereka melakukan unjuk rasa dari berbagai daerah untuk menolak kebijakan yang dinilai hanya menyasar pelaku lapangan tanpa menyentuh akar persoalan—yakni perusahaan dan pemberi kerja.

“Kalau masih ada pejabat yang menyalahkan sopir, taruh saja semua truk ke depan rumah atau kantornya. Supir itu korban. Mereka harus dilindungi dari para pemeras dan pemberi kerja yang mempermainkan mereka,” ujar Said dengan nada keras.

Lebih lanjut, Said menyerukan agar pemerintah menerapkan pendekatan yang lebih holistik dan kolaboratif dalam menangani persoalan ODOL. Ia meminta agar pengawasan tidak hanya menindak sopir, tetapi juga menyasar perusahaan pemilik barang, penyedia jasa logistik, serta aparat yang terlibat dalam praktik pungli.

“Pemerintah harus turun ke akar masalah. Libatkan serikat buruh, pengusaha, dan aparat penegak hukum secara adil. Jangan jadikan sopir sebagai kambing hitam,” pungka Said.

Kondisi jalan dan jembatan yang rusak akibat truk ODOL memang menjadi perhatian serius. Menurut data Kementerian PUPR, anggaran perbaikan infrastruktur yang terdampak ODOL menyedot dana negara yang seharusnya dialokasikan untuk sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, atau bantuan sosial.

Ini Promo Tiket Kereta Api Tarif di Bawah Rp 100 Ribu pada Juni-Juli 2025

Namun demikian, suara-suara seperti yang disampaikan Said menunjukkan perlunya desain kebijakan yang adil, berimbang, dan menempatkan hak-hak pekerja sebagai prioritas, bukan semata menyasar pelanggaran teknis tanpa solusi struktural.

(end)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *