Opinion
Beranda » Berita » Jejak Panjang Sengketa Tapal Batas Indonesia-Malaysia

Jejak Panjang Sengketa Tapal Batas Indonesia-Malaysia

Bendera Indonesia dan Malaysia/ilustrasi. (Foto: Pixabay)

Oleh Hamidin *)

Sejarah Indonesia mencatat bahwa persoalan perbatasan sering menjadi akar dari konflik dengan negara tetangga. Salah satu yang paling menonjol adalah hubungan Indonesia-Malaysia yang pernah diwarnai konfrontasi militer terbuka pada 1963-1966.

Saat itu, Presiden RI Soekarno menolak pembentukan Federasi Malaysia yang dianggap sebagai perpanjangan tangan imperialisme Inggris. Slogan “Ganyang Malaysia” pun menggema di seluruh Nusantara, diiringi pertempuran gerilya di perbatasan Kalimantan.

Meski konfrontasi berakhir ketika Soeharto mengambil alih kepemimpinan Soekarno, sengketa wilayah tetap berlanjut. Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi contoh perselisihan yang beralih dari medan perang ke ranah hukum internasional, dan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah Internasional pada 2002.

Luka diplomatik ini belum benar-benar sembuh, ditambah isu Ambalat yang kaya sumber daya, klaim budaya seperti Reog Ponorogo dan lagu “Rasa Sayange”, serta perlakuan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) yang kerapkali menjadi sumber gesekan emosional.

Rojali, Rohana, dan Bisnis Etis di Era Digital

Gurkha: Pasukan Asing di Medan Perbatasan

Salah satu sisi menarik dari sejarah konfrontasi adalah kehadiran pasukan Gurkha, tentara elite asal Nepal yang tergabung dalam militer Inggris. Dengan reputasi sebagai prajurit tangguh hasil Perang Anglo–Nepal pada awal abad ke-19, Gurkha direkrut untuk berbagai operasi internasional, termasuk di Brunei dan Singapura.

Di masa konfrontasi, Gurkha menjadi garda terdepan di Sabah dan Sarawak, menghadapi infiltrasi pasukan Indonesia. Keahlian dalam perang hutan menjadikan mereka lawan tangguh di medan Kalimantan.

Pertempuran di Kampung Sakilkilo dan Sungai Koemba menjadi salah satu bukti ketangguhan mereka menghadapi pasukan RPKAD yang kini dikenal sebagai Kopassus.

Keseriusan Inggris dan Malaysia dalam mempertahankan wilayah tercermin dari pengerahan delapan batalion Gurkha. Dari 114 korban tewas pihak Persemakmuran, 44 di antaranya adalah prajurit Gurkha, menunjukkan betapa sengitnya pertempuran di perbatasan.

Mengenal Wajah Indonesia di Perbatasan Kalbar

Transformasi Perbatasan: Dari Konflik Menjadi Zona Damai, Peran BNPP RI di Garis Depan

Sejarah membuktikan bahwa menjaga perbatasan tidak hanya soal menegakkan garis di peta, tetapi juga tentang identitas, kedaulatan, dan martabat bangsa.

Kini, Indonesia mengedepankan diplomasi dan pembangunan sebagai strategi utama, dengan peran sentral yang diemban oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

BNPP RI hadir memastikan bahwa perbatasan menjadi ruang kolaborasi, bukan konflik. Strateginya meliputi koordinasi lintas kementerian/lembaga, pembangunan infrastruktur, hingga dialog bilateral dengan negara tetangga. Peran militer tetap penting, namun menjadi benteng terakhir jika diplomasi menemui jalan buntu.

Dengan pengelolaan yang modern, manusiawi, dan berorientasi pada kesejahteraan, perbatasan dapat menjadi beranda depan kemajuan bangsa.

Menelisik Potensi Pulau Habe di Ujung Timur Indonesia

Menatap Masa Depan Perbatasan Indonesia

Pelajaran dari masa lalu menunjukkan bahwa menjaga kedaulatan memerlukan lebih dari sekadar kekuatan militer. Diplomasi yang cerdas, tata kelola yang kokoh, dan kehadiran negara secara nyata adalah kunci.

Gurkha mungkin telah menjadi bagian dari bab lama sejarah perbatasan Indonesia-Malaysia, namun masa depan kini berada di tangan Indonesia sendiri.

BNPP RI memainkan peran vital dalam memastikan perbatasan berubah menjadi zona damai dan sejahtera, tempat di mana sejarah kelam berganti menjadi kisah kolaborasi dan kemajuan.

*) Kelompok Ahli BNPP RI

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *