JRMEDIA.ID — Sampah plastik menjadi permasalahan global yang semakin mendesak, termasuk di Indonesia. Beragam cara dilakukan untuk mengatasi persoalan sampah plastik, termasuk mengembangkan teknologi untuk menguraikan sampah plastik.
Teknologi tersebut mengarah kepada sampah plastik harus biodegradable (dapat terurai oleh mikroba). Ada beragam inovasi teknologi yang dikenal di dunia agar material plastik memiliki sifat biodegradable.
Finlandia, misalnya, menerapkan material PLA (Poliasam laktat) dari bahan baku jagung tebu untuk kemasan Sulapac pada kosmetik.
Jepang juga menerapkan material Polybutylene Succinate (PBS) berbasis nabati dari bahan baku asam suksinat dari tebu atau jagung dan 1,4-butanediol untuk kantong sampah BioPBS.
Amerika menggunakan material Polyhydroxyalkanoate (PHA) jenis PHBH (poly-3-hydroxybutyrate-co-3-hydroxyhexanoate) dari bahan baku minyak nabati melalui fermentasi bakteri untuk kemasan kantong kompos dan kemasan PepsiCo.
Di antara deretan teknologi bioplastik dunia, ternyata juga ada teknologi asal Indonesia, yakni Oxium.
Namun, keberadaan Oxium sebagai produk teknologi anak bangsa kerap dihadapkan pada sejumlah tantangan. Persaingan geopolitik terkait bioplastik melibatkan tarik-menarik antara kepentingan ekonomi, kebijakan lingkungan global, dan ambisi negara-negara untuk mendominasi pasar teknologi hijau.
Mitos-mitos terkait Oxium pun berkembang untuk mematahkan perkembangan produk teknologi Tanah Air. Salah satunya, Oxium dianggap menambah keberadaan mikroplastik.
Kendati demikian, riset terbaru justru menunjukkan bahwa Oxium aditif biodegradable dan dapat mempercepat terjadinya proses biodegradasi plastik di lingkungan.
Melalui mekanisme pemutusan rantai polimer menjadi lebih pendek oleh faktor alam seperti sinar matahari, panas dan kelembaban, memungkinkan plastik terurai lebih cepat oleh agen pengurai/mikroorganisme di alam, sehingga Oxium menghadirkan alternatif yang lebih ramah lingkungan tanpa mengubah fungsi plastik selama masa pakainya.
Studi terbaru menemukan bahwa plastik yang mengandung Oxium mengalami proses fragmentasi dan depolimerisasi secara simultan saat terpapar cahaya matahari (UV), oksigen, dan suhu tinggi. Proses ini mengakibatkan plastik menjadi lebih rapuh dan berpori sehingga lebih mudah diurai dan dikonsumsi oleh mikroorganisme di lingkungan alami.
Sederet riset yang dilakukan menghasilkan temuan, plastik dengan Oxium mulai mengalami perubahan struktur rantai molekul yang lebih pendek dalam beberapa bulan ketika berada di lingkungan terbuka. Hal ini menyebabkan peningkatan porositas dan sifat hidrofilik dari plastik, sehingga memungkinkan mikroba memecahnya lebih efektif dan mengkonsumsinya sebagai sumber makanan.
Oxium juga mempercepat degradasi alami plastik tanpa meninggalkan residu mikroplastik berbahaya.
Dalam Jurnal Environmental Pollutants and Bioavailability volume 34 tahun 2022, Hadiyanto dan Adianto Khoironi melakukan riset terkait efektivitas mikroalga Dunaliella salina dalam proses biodegradasi oksium teroksidasi dan plastik HDPE.
Interaksi mikroalgae dan mikroplastik dievaluasi dalam dua bioreaktor kaca berukuran 1 L yang berisi D. salina dengan mikroplastik oksium dan HDPE teroksidasi dengan berbagai konsentrasi (100 mg/500 mL, 200 mg/500 mL, dan 300 mg/500 mL) selama 15 hari.
Hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan gugus fungsi alkena yang lebih signifikan pada plastik oksium dibandingkan dengan plastik HDPE. Selain itu, terjadi perubahan gugus fungsi oksium dengan terbentuknya karbonil, eter, dan alkohol primer. Laju pertumbuhan D. salina menurun secara signifikan setelah interaksi dengan mikroplastik HDPE dibandingkan dengan interaksi oksium.
“Kami menemukan bahwa plastik oksium memiliki kemampuan yang lebih terurai cepat karena penambahan zat aditif biodegradable pada plastik,” kata kedua peneliti seperti yang tertulis dalam jurnal penelitian.
Kebijakan di berbagai negara berbeda-beda. Di Eropa, regulasi lebih fokus pada daur ulang, sedangkan di Indonesia, solusi seperti Oxium bisa lebih relevan karena infrastruktur daur ulang masih berkembang.
Di Eropa, kebijakan pengelolaan sampah berfokus pada daur ulang dan pengurangan produksi plastik secara keseluruhan. Akibatnya, inovasi seperti Oxium kurang diminati di sana.
Namun, di Indonesia, dengan infrastruktur daur ulang yang masih berkembang, Oxium dapat menjadi solusi yang efektif dalam mempercepat degradasi plastik yang sudah beredar di alam. Oleh karena itu, strategi pengelolaan sampah harus disesuaikan dengan kondisi lokal untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Oxium memberikan manfaat signifikan dalam pengelolaan sampah plastik, antara lain, mempercepat proses degradasi plastik, mengurangi timbunan sampah jangka panjang, mencegah pembentukan mikroplastik karena plastik dengan Oxium akan terurai secara alami oleh mikroorganisme, serta mendukung transisi ke pengelolaan sampah yang lebih baik, terutama di negara-negara berkembang yang masih bergantung pada plastik dalam kehidupan sehari-hari.
(end)
Komentar