Kurnia Effendi (dua kanan) dan Fanny J Poyk (dua kiri) yang mengisi pengantar prolog buku kumpulan cerpen “Cerita Anak Indonesia” produksi Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) yang dilaunching dan didiskusikan di Aula PDS HB Jassin, TIM, di Jakarta, Jumat (21/2/2025). (Foto: Lasman Simanjuntak)
JAKARTA — Apakah buku ini menghimpun cerita yang ditujukan khusus bagi anak-anak? Apakah antologi ini berisi sejumlah cerita tentang anak-anak? Apakah cerpen-cerpen dalam kumpulan ini ditulis oleh anak-anak? Tidak semua terjawab dengan: ya.
Namun demikian, kekeliruan kerap menyisipkan hikmah. Banyak orang besar (bukan soal fisik) yang tumbuh kukuh dimulai dengan belajar dari kekeliruan untuk tidak diulang.
“Wahai, para penulis dan adik-adik atau anak-anak tersayang, kesempatan menulis pengantar akan saya gunakan untuk menyampaikan sesuatu terkait buku ini. Ketika saya (dan Kakak Fanny J Poyk) diminta menjadi kurator dan editor kumpulan cerita untuk anak-anak ini, saya merasa sangat terhormat,” ujar Kurnia Effendi dalam pengantar prolog buku kumpulan cerpen “Cerita Anak Indonesia” produksi Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) yang dilaunching dan didiskusikan di Aula PDS HB Jassin, TIM, di Jakarta, Jumat (21/2/2025).
Bagi Kurnia Effendi yang dikenal sebagai cerpenis dan penyair, tawaran tersebut merupakan tantangan. Mengapa? “Saya bukan psikolog, bukan guru, bukan pengasuh anak yang serta-merta memahami kebutuhan jiwa dan pikiran anak-anak. Saya seorang penulis yang oleh satu dan lain hal dituntut menjadi pemberi pesan, termasuk soal moral melalui teks (dalam hal ini) fiksi,” katanya lagi.
Menurut Kurnia Effendi dengan tiga pertanyaan di alinea pembuka, berdasarkan pengalaman, ia membagi “cerita anak” dengan:
(1) Cerita untuk bacaan anak-anak yang ditulis oleh siapa pun.
(2) Cerita tentang anak-anak yang ditulis oleh siapa pun.
(3) Cerita apa pun yang ditulis oleh anak-anak.
Mari kita tinjau bersama, ragam cerita seperti apa yang kemudian dikumpulkan dalam buku ini.
“Nah, sejak kami menerima satu demi satu cerita yang masuk, ternyata hampir separuhnya menempati “ketentuan” di luar ketiga penggolongan di atas, yakni cerita yang ditulis oleh orang dewasa dengan materi tidak sepenuhnya untuk anak-anak. Saya dan Kakak Fanny ingin bijaksana mengingat ini buah karya anggota komunitas orang dewasa yang sedang berusaha mendekati dunia anak-anak melalui cerita,” ucap Kurnia Effendi.
Jalan yang diharapkan sangkil dan mangkus karena pengetahuan pertama bagi kita saat kecil lebih kuat dan berkesan diasupkan melalui dongeng. Kita semua–tanpa keajaiban–merambah realitas dimulai dengan belum bisa membaca sehingga memerlukan perantara orang (yang lebih) tua untuk membacakannya.
Oleh karena itu Kurnia Effendi secara pribadi gembira menyambut semangat para penulis yang menyampaikan kisah dengan muatan pendidikan dan moral meskipun belum tepat. “Kami harus maklum mengingat program ini tidak diawali dengan pelatihan atau lokakarya (workshop). Dari pengalaman membaca dan menulis, juga mendengar berbagai saran psikolog atau pak dan ibu guru yang kebetulan mengampu pendidikan dasar,” cetusnya.
Dapat “dirumuskan” kurang lebih sebagai berikut. Anak-anak masih suka bermain dengan rasa ingin tahu tinggi, bahkan kadang-kadang berani melakukan tindakan yang mengandung risiko tanpa pembekalan.
Anak-anak tidak tahan membaca lebih dari sepuluh menit dengan perhatian yang sama. Tidak semua anak memahami metafora, simbolisme, diksi abstrak (kata “nakal” menurut Kurnia Effendi tidak konkret karena definisi dan tafsirnya bermacam-macam). Anak-anak akan bingung dan tidak paham bila disuguhi problem orang dewasa. Dan seterusnya.
Kembali lagi, Kurnia Effendi sangat menghargai tulisan yang datang menghampiri redaksi.
“Mengingat tugas kami ada dua, kurasi dan penyuntingan, maka satu unsur ditoleransi. Pemilihan atau seleksi naskah dilonggarkan, kami mengutamakan niat dan semangat para penulis untuk memberikan sumbangsih bagi anak-anak. Konsekuensinya adalah kami bekerja keras dalam penyuntingan,” ungkap Kurnia Effendi.
Naskah yang panjang diringkas tanpa mengurangi materi. Para penyair yang berupaya menulis prosa untuk anak-anak mengalami gegar kalimat sehingga diperbaiki baik struktur maupun tata cara menulis yang benar.
Istilah-istilah asing dikurangi, tetapi mempertahankan dialek kedaerahan, demi keinginan mendapatkan keberagaman bahasa/budaya.
Kurnia dan Fanny juga tidak sesempurna yang diandalkan oleh penggagas dan pengelola komunitas TISI. Pengalaman panjang dalam dunia penulisan saja yang membuat keduanya berani menangani pekerjaan “sulit” ini.
“Kita (kami dan kalian) adalah orang-orang dewasa yang sedang menghibur dan memberi “wejangan” kepada anak-anak pembaca melalui cerita,” tegas Kurnia Effendi.
Banyak hal yang luput karena perbedaan usia yang jauh, juga agaknya sudah lupa dengan kebutuhan kita di masa kecil dahulu.
Tidak mengapa. Mari kita jadikan buku ini sebagai pembelajaran bersama. Toh, dalam penggolongan sederhana, yang disebut anak-anak dimulai dari balita hingga 15 tahun (kelas 9 atau SMP).
Kisah Lima Sekawan karya Enid Blyton yang tersohor ke seluruh dunia adalah bacaan bagi anak-anak kelas empat SD hingga masa awal remaja di SMP. Pengantar yang baik menuju bacaan fiksi dewasa.
Dengan niat baik sejak awal, Kurnia dan Fanny mengapresiasi agenda TISI yang selalu peduli terhadap kebutuhan anak-anak. Ia menyampaikan terima kasih atas kesempatan terlibat dalam proses panjang ini kepada M Oktavianus Masheka (pendiri TISI), Erni Endra Tujiniah (sebagai penanggung jawab program), dan admin juga panitia yang tidak dapat disebut secara terperinci.
“Semoga langkah kecil ini akan menyusun langkah besar menuju hari depan yang benderang. Kepada anak-anak pembaca, lahaplah cerita yang mungkin melampaui usia kalian. Orang-orang sukses kebanyakan mengasah kemampuan dengan membaca cerita di atas bacaan teman sebayanya,” pungkas Kurnia Effendi. (*)
(Lasman Simanjuntak)
Komentar