Oleh Damar Pratama Yuwanto *)
Menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), sejumlah warga mengibarkan bendera Bajak Laut Topi Jerami dari anime One Piece. Tindakan ini menuai respons dari publik, sejumlah tokoh, dan media sosial. Bagi sebagian orang, ini hanyalah ekspresi fandom. Namun, bagi yang lebih kritis, ini adalah bentuk simbolik dari perlawanan terhadap sistem kekuasaan.
Narasi eksistensi manusia telah lama dibentuk oleh arketipe–pola perilaku, pemikiran, dan emosi universal yang beresonansi mendalam lintas budaya dan zaman berasal dari teori Karl Carl Jung, seorang psikolog asal Swiss. Arketipe seperti Pahlawan, Pejuang, Korban, Martir, dan Penjahat lebih dari sekadar konstruksi budaya; mereka merupakan bagian integral dari jiwa manusia.
Menurut Tahir Rahman, M.D., profesor madya psikiatri di Universitas Washington di St. Louis, Missouri, penelitian interdisipliner terkini mendukung teori Jung dan menunjukkan bahwa arketipe tidak sekadar simbolis, tetapi berakar pada biologi kita—terkode dalam genom manusia. Pada dasarnya Arketipe adalah konsep konsep abstrak yang ada di bawah sadar manusia, konsep konsep seperti kejahatan, kebaikan, kakek yang bijaksana, ibu yang penyayang bukan hanya simbol dan kisah dongeng. Konsep konsep itu diwariskan dari nenek moyang kita melalui Pewarisan epigenetika.
Pewarisan epigenetika adalah mekanisme di mana informasi genetik yang tidak melibatkan perubahan pada urutan DNA itu sendiri atau sifat yang kita peroleh dari pengalaman hidup dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Jadi, pengalaman dan kondisi lingkungan yang dialami oleh orang tua dapat memengaruhi ekspresi gen pada keturunannya, bahkan jika DNA keturunan tersebut tidak berubah. Misalnya orang tua yang memiliki trauma dengan ruangan tertutup bisa saja melahirkan anak yang sangat takut dengan lift.
Alasan mengapa naga ada di semua peradaban manusia tak lain tak bukan adalah warisan nenek moyang kita yang sangat takut pada ular. Ular adalah binatang yang mampu beradaptasi di mana saja, hampir di seluruh lingkungan manusia mulai dari sabana, hutan, gurun salju, dan lain lain.
Manusia cenderung memiliki ketakutan terhadap ular, atau disebut ophidiophobia, karena kombinasi faktor biologis, evolusi, dan pengalaman pribadi. Faktor evolusi menunjukkan bahwa nenek moyang kita mengembangkan ketakutan bawaan terhadap ular sebagai mekanisme bertahan hidup karena ular merupakan predator yang berbahaya.
Selain itu, pengalaman traumatis, seperti digigit ular, atau pengaruh lingkungan dan budaya yang menggambarkan ular sebagai hewan berbahaya, juga dapat memperkuat ketakutan ini. Itulah sebabnya budaya manusia di seluruh dunia memiliki mitos naga sebagai mahluk yang mengerikan. Manusia juga cenderung lebih takut pada laba-laba dibandingkan senjata tajam seperti pisau karena nenek moyang kita juga terancam oleh keberadaan laba-laba.
Fenomena pengibaran bendera One Piece menjelang HUT RI ini mencerminkan beberapa arketipe utama salah satunya The Rebel/Outlaw. Straw Hat Pirates menolak tunduk pada sistem yang dianggap korup. Bendera mereka menjadi simbol ketidakpercayaan terhadap otoritas—paralel dengan kritik terhadap pemerintah atau elite yang kehilangan legitimasi.
Di anime One Piece, Luffy dan kru-nya memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kebebasan. Mereka mewakili impian rakyat akan pemimpin yang jujur dan berani, bukan yang oportunistik.
Ada unsur harapan akan masa depan yang lebih baik. Para pengibar bendera mungkin menggambarkan kerinduan akan “kemerdekaan sejati”, bukan sekadar seremoni 17 Agustus.
Dalam semiotika, simbol adalah penanda makna yang bisa melampaui bentuk visualnya. Bendera Bajak Laut Topi Jerami di One Piece adalah ikon budaya populer yang dikenal luas lintas usia dan kelas sosial.
Di dalam One Piece, kru Luffy membentuk kelompok berdasarkan kesetiaan, kejujuran, dan tujuan bersama–kontras dengan sistem hierarkis dunia nyata.
Luffy dkk adalah bajak laut, tapi justru membela rakyat. Sebuah inversi moral terhadap narasi resmi kekuasaan. Fenomena ini mirip dengan simbol-simbol pemberontakan di masa lalu, seperti Topeng Guy Fawkes dalam gerakan Anonymous dan Kaos Che Guevara dalam gerakan kiri global.
Satire dalam nasionalisme baru mengibarkan bendera fiksi di hari nasional bukan sekadar lelucon, melainkan satire terhadap nasionalisme formalistik. Ungkapan bahwa “kemerdekaan” yang dirayakan secara simbolik tidak dirasakan secara nyata. Narasi politik alternatif–di mana anak muda memilih “kapten bajak laut” daripada pemimpin resmi yang mereka anggap gagal memenuhi janji kemerdekaan.
Fiksi pun kini sebagai cermin realitas. Dalam dunia di mana kenyataan semakin absurd, fiksi bisa menjadi alat paling jujur untuk menyampaikan kebenaran.
Simbol perlawanan kolektif pengibaran bendera ini bisa dibaca sebagai bentuk disonansi kognitif kolektif. Rakyat mengikuti upacara, tapi merasa tidak benar-benar merdeka secara ekonomi, hukum, dan sosial. Maka mereka menciptakan simbol alternatif: bendera tokoh fiksi yang “lebih dipercaya” daripada pejabat nyata.
Bendera Bajak Laut Topi Jerami bukan sekadar atribut fandom. Ia adalah proyeksi bawah sadar kolektif dari rakyat yang merindukan keadilan, kepemimpinan moral, dan makna sejati dari kemerdekaan. Dari perspektif arketipe Jungian hingga semiotika budaya pop, fenomena ini mengajak kita melihat ulang: Apakah kita benar-benar merdeka, atau sekadar memperingatinya?
Arketipe berfungsi sebagai pola dasar atau cetak biru universal yang melampaui batas budaya, agama, dan sejarah. Mereka menyediakan kerangka bersama untuk memahami perilaku manusia dan identitas, sekaligus menawarkan bahasa simbolik yang digunakan lintas ruang dan waktu.
Studi antropologi menunjukkan bahwa arketipe hadir dalam mitos, ritual, dan struktur sosial berbagai masyarakat, mulai dari suku pemburu-pengumpul hingga bangsa industri modern. Meski ekspresi budaya berbeda-beda, pola dasar arketipe tetap konsisten dan menjadi jalan penyatu umat manusia.
Carl Jung memperkenalkan konsep arketipe sebagai motif dari alam bawah sadar kolektif yang muncul dalam mimpi, mitos, dan perilaku. Arketipe memberi individu peran simbolik dan narasi yang memengaruhi cara mereka memahami diri dan dunia.
Namun, ketika arketipe mengalami distorsi, hal ini dapat memicu gangguan psikologis. Salah satu bentuknya adalah inflasi arketipal, yaitu dominasi berlebihan satu arketipe dalam jiwa seseorang yang mengganggu keseimbangan psikis dan mendorong perilaku maladaptif. Misalnya, identifikasi berlebihan dengan arketipe pahlawan dapat menyebabkan narsisme, sedangkan keterikatan ekstrem pada arketipe korban bisa melahirkan perasaan tidak berdaya dan dendam yang menetap.
Epigenetika memberi penjelasan biologis tentang bagaimana arketipe bisa terekspresi dan terdistorsi. Pemicu lingkungan seperti trauma, narasi budaya, atau peristiwa besar dapat mengaktifkan jalur genetik yang memengaruhi perilaku dan kognisi. Fenomena ini disebut pencetakan arketipal, yang paling rentan terjadi pada masa perkembangan sensitif saat otak sangat plastis dan mudah menyerap pengaruh budaya dan lingkungan. Contohnya terlihat pada gangguan makan yang dipicu oleh ideologi tubuh ekstrem, atau radikalisasi pada pelaku kekerasan ekstrem.
Penelitian oleh Csaba tentang pencetakan hormonal menunjukkan bahwa sinyal hormon pada masa perkembangan awal dapat menyebabkan perubahan jangka panjang dalam perilaku sel dan sensitivitas reseptor. Mekanisme serupa diyakini berlaku dalam pencetakan arketipal, di mana sinyal lingkungan saat periode krusial membentuk sirkuit saraf yang mengatur ekspresi arketipe. Trauma atau stres berat pada masa kanak-kanak, misalnya, bisa memperkuat aktivasi arketipe secara epigenetik.
Proses epigenetik seperti metilasi DNA dan modifikasi histon mengatur ekspresi gen sebagai respons terhadap lingkungan. Ini memungkinkan terbentuknya memori epigenetik yang bisa memengaruhi perilaku dan bahkan diwariskan antargenerasi.
Perubahan epigenetik yang dipicu oleh stres, terutama pada sistem HPA axis, dapat memengaruhi respons terhadap tekanan dan memperkuat pola perilaku yang selaras dengan arketipe. Seiring waktu, ini bisa mengarah pada inflasi arketipal, yakni ketika satu pola arketipe mendominasi kepribadian dan berkontribusi pada gangguan seperti kecemasan, depresi, atau gangguan kepribadian.
Pewarisan epigenetik memberikan kerangka untuk memahami bagaimana pola arketipe—beserta distorsinya—bisa diwariskan dalam kode genetik. Pengalaman traumatis atau lingkungan ekstrem yang dialami satu generasi dapat menghasilkan modifikasi epigenetik yang memengaruhi ekspresi gen di generasi berikutnya.
Tidak seperti pewarisan Mendel yang berbasis urutan gen tetap, epigenetika mewariskan pola ekspresi gen. Misalnya, stres saat kehamilan telah dikaitkan dengan perubahan epigenetik yang memengaruhi perilaku anak, seperti meningkatnya kecemasan atau perubahan reaktivitas terhadap stres—semuanya dapat dikaitkan dengan pola arketipe.
Jejak arketipe bisa menjelaskan banyak bentuk gangguan psikologis, terutama dalam bentuk pola perilaku yang berlebihan atau kaku. Contohnya, orang dengan gangguan kepribadian narsistik mungkin memperlihatkan arketipe pahlawan yang membesar, dengan kebutuhan akan pengakuan dan keunggulan. Sebaliknya, individu dengan gangguan kepribadian ambang (borderline) sering beralih antara arketipe korban dan pemberontak, menunjukkan citra diri yang labil dan perilaku impulsif.
Distorsi ini diperparah oleh faktor neurobiologis dan psikologis seperti dorongan thymotik—yakni kebutuhan manusia akan pengakuan dan keadilan—serta keyakinan ekstrem yang terlalu dihargai (EOBs). Dorongan ini memperkuat keterikatan emosional pada arketipe yang telah menyimpang, baik dalam konteks individual maupun kolektif.
Jika arketipe memang tersimpan dalam DNA, maka mereka menjadi jembatan antara biologi dan psikologi. Pewarisan ini memungkinkan strategi perilaku dasar diturunkan lintas generasi, sementara lingkungan membentuk cara ekspresinya. Universalitas arketipe menunjukkan pentingnya peran mereka dalam evolusi dan pembentukan identitas manusia. Namun, ketika ekspresi ini terganggu, arketipe bisa menjadi sumber berbagai gangguan psikologis.
Gagasan bahwa arketipe tertanam dalam genom manusia melalui mekanisme epigenetik memberi kerangka terpadu untuk memahami interaksi antara biologi, psikologi, dan budaya. Arketipe bukan hanya simbol, tapi juga kebutuhan biologis yang mendalam, yang—jika terganggu—dapat menyebabkan patologi.
Pemahaman yang lebih mendalam tentang proses ini dapat membantu pengembangan strategi pencegahan dan intervensi psikologis yang lebih efektif, serta membangun ketahanan mental dan kesejahteraan.
Depok, 3 Agustus 2025
*) Mahasiswa Psikologi Program Sarjana-Magister (Sarmag) Universitas Gunadarma Depok, Jawa Barat.
Komentar