Foto: Komik Webtoon Dedes yang Menceritakan Time Travel ke Zaman Kerajaan Singasari.
JRMEDIA.ID — Pernahkah kalian membaca komik Webtoon Dedes? Isekai yang diangkat dari kisah sejarah Indonesia? Seorang mahasiswi yang melakukan semacam time travel ke era awal berdirinya Kerajaan Singasari dan tiba-tiba terbangun di tubuh Dedes, seorang gadis yang kelak akan menjadi ibu bagi para raja di tanah Jawa.
Komik Webtoon ini diangkat dari kisah Ken Dedes, nama selir dari Tunggul Ametung pendiri Kerajaan Tumapel. Ia kemudian dianggap sebagai leluhur raja-raja yang berkuasa di Jawa, nenek moyang wangsa Rajasa, trah yang berkuasa di Singhasari dan Majapahit. Tradisi lokal menyebutkan ia sebagai perempuan yang maharupa, perwujudan kecantikan yang sempurna.
Banyak film dan komik menggambarkan perjalanan waktu sebagai petualangan seru. Namun dalam kenyataannya (atau dalam teori ilmiah sekalipun), melakukan perjalanan ke masa lalu seperti era Majapahit sangat berbahaya. Risiko bahasa, penyakit, gangguan sosial, hingga efek kupu-kupu membuat ide ini lebih cocok jadi bahan fiksi daripada eksperimen sungguhan.
Jika suatu saat teknologi memungkinkan time travel, maka perencanaan, persiapan linguistik, biologis, dan etis harus benar-benar matang. Tanpa itu, manusia masa depan justru bisa menjadi ancaman bagi masa lalu yang mereka datangi.
1. Perbedaan Bahasa yang tak Bisa Dijembatani
Meskipun Kerajaan Majapahit dikenal sebagai kerajaan besar yang kosmopolit—bahkan menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai wilayah di Nusantara dan Asia—tantangan bahasa tetap menjadi penghalang utama bagi siapa pun dari masa kini yang ingin berkunjung ke sana.
Meskipun kita berbicara dalam Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia modern, bahasa yang digunakan masyarakat Majapahit sangat berbeda. Mereka menggunakan Bahasa Jawa Kuna atau Bahasa Kawi, yang strukturnya berbeda total dari bahasa yang kita kenal sekarang.
Seorang penutur Bahasa Jawa modern kemungkinan besar tidak akan mampu memahami bahasa yang digunakan masyarakat Majapahit. Begitu pula, Bahasa Melayu Kuno yang mungkin digunakan di wilayah lain sangat jauh dari Bahasa Indonesia saat ini. Tanpa pemahaman ini, kita tak akan bisa berkomunikasi dengan siapapun di Zaman Majapahit.
Bahasa Jawa Kuna Bukan Bahasa Jawa Modern
Di masa Majapahit, bahasa utama yang digunakan dalam tulisan resmi, sastra, dan komunikasi istana adalah Bahasa Jawa Kuna (Jawa Kuno), kadang juga disebut Bahasa Kawi. Bahasa ini sudah sangat berbeda dari Bahasa Jawa modern yang digunakan masyarakat Jawa sekarang.
Contoh perbedaan:
Bahasa Jawa Modern | Bahasa Jawa Kuna | Arti |
---|---|---|
Kulo | Hulun | Saya |
Tindak | Lungaa | Pergi |
Apa kabar? | Kawruhana, kadiya becik? (kurang lebih) | Bagaimana keadaanmu? |
Struktur kalimat, kosakata, dan bahkan cara berpikir dalam bahasa Jawa Kuna bisa sangat membingungkan bagi orang Jawa modern. Seseorang dari abad ke-21 kemungkinan tidak akan mengerti percakapan sehari-hari masyarakat Majapahit, kecuali ia mempelajari bahasa dan naskah kuno secara mendalam.
Contoh Kalimat dari Kakawin Sutasoma
Salah satu karya sastra penting dari abad ke-14 adalah Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular. Dalam karya ini terdapat pupuh yang terkenal, yaitu pupuh 139 bait 5, yang berisi semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Berikut adalah kutipan dari pupuh tersebut
“Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia Modern:
“Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda,
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal,
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.”
Kutipan ini menunjukkan penggunaan Bahasa Jawa Kuna dalam konteks keagamaan dan filsafat pada masa Majapahit. Frase “Bhinneka Tunggal Ika” kemudian menjadi semboyan negara Indonesia yang mencerminkan prinsip persatuan dalam keberagaman.
📜 Contoh Kalimat dari Kakawin Nagarakretagama
Kakawin Nagarakretagama adalah karya sastra lain dari abad ke-14 yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Karya ini berisi catatan perjalanan Sri Maharaja Hayam Wuruk dari Majapahit. Berikut adalah kutipan dari salah satu bagian dalam Kakawin Nagarakretagama:
“Warnnan tinkah ikaɳ pikandel atathattut kantaniɳ nagara, wetan / saɳ dwija çaiwa mukya sira danhyaɳ brahmarajadika…”
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia Modern:
“Inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan, Synakayodyapura, begitu pun Darmmanagari, Marutma, Rajapura, begitu juga Sinhanagari, Campa, Kamboja dan Yawana ialah negara sahabat.”
Kutipan ini menunjukkan penggunaan Bahasa Jawa Kuna dalam konteks diplomasi dan hubungan antarnegara pada masa Majapahi
Penerjemah Tak Menjamin Komunikasi Lancar
Walaupun mungkin ada penerjemah di istana Majapahit yang memahami Bahasa Melayu Kuno, bukan berarti kita bisa berkomunikasi dengan mudah. Bahasa Indonesia baru berkembang ratusan tahun kemudian, setelah dipengaruhi oleh Belanda, Arab, Portugis, dan kebudayaan modern lainnya.
Prasasti Kedukan Bukit (683 M)
Prasasti ini ditemukan di Palembang dan ditulis menggunakan aksara Pallawa dengan Bahasa Melayu Kuno. Berikut adalah kutipan dari prasasti tersebut:bukharis.blogspot.com+9Tempo+9duniakujaya+9
“Svasti śri śaka warṣa titā 606 diŋ dwitiya ṣuklapakṣa wulan caitra sāna tatkālāña parlak śri kṣetra ini niparwuat parwaṇḍa punta hiyaŋ śrī jayanāga.”
Transliterasi dan Terjemahan:
“Salam sejahtera. Tahun Saka 606, pada bulan Caitra, pada masa pemerintahan Sri Jayanāga, dibangunlah taman suci ini.”
Perbandingan dengan Bahasa Indonesia Modern:
“Salam sejahtera. Pada tahun Saka 606, bulan Caitra, di bawah pemerintahan Sri Jayanāga, dibangun taman suci ini.”
Perbedaan yang Terlihat:
- Penggunaan aksara Pallawa dalam prasasti.
- Kosakata seperti “śri”, “śaka”, “warṣa”, dan “parwaṇḍa” yang tidak digunakan dalam Bahasa Indonesia Modern.
- Struktur kalimat yang lebih formal dan padat.
🔍 Perbandingan Kosakata dan Struktur
Bahasa Melayu Kuno | Bahasa Indonesia Modern |
---|---|
Svasti | Salam sejahtera |
Śri | Yang mulia |
Saka | Tahun Saka |
Warṣa | Tahun |
Parwaṇḍa | Pembangunan |
Punta | Raja |
Hiyaŋ | Yang mulia |
Śrī Jayanāga | Sri Jayanāga |
Catatan:
- Beberapa kosakata dalam Bahasa Melayu Kuno merupakan serapan dari bahasa Sanskerta.
- Struktur kalimat dalam Bahasa Melayu Kuno cenderung lebih padat dan formal dibandingkan dengan Bahasa Indonesia Modern.
Artinya:
- Si time traveler mungkin bisa mencoba menggunakan Bahasa Indonesia, tapi penerjemah hanya akan memahami sebagian kecil dari itu.
- Kesalahan terjemahan bisa menyebabkan salah paham serius, bahkan membahayakan nyawa bila dianggap menyampaikan pesan yang menghina, aneh, atau mengancam.
2. Risiko Penyakit yang Mematikan
Tubuh manusia modern membawa mikroorganisme, virus, dan bakteri yang mungkin tidak berbahaya bagi kita, tapi bisa sangat mematikan bagi manusia masa lalu. Masyarakat Majapahit tidak memiliki sistem kekebalan terhadap virus atau penyakit yang muncul berabad-abad kemudian.
Sama seperti yang terjadi saat bangsa Eropa menjajah Amerika dan membawa penyakit yang membunuh jutaan penduduk asli, seorang time traveler bisa tanpa sadar memicu epidemi di masa lalu. Bahkan penyakit yang kita anggap ringan seperti flu atau cacar air bisa menewaskan banyak orang. (Crosby, Alfred W. – “The Columbian Exchange: Biological and Cultural Consequences of 1492” (1972).
Masyarakat Majapahit, seperti kebanyakan peradaban kuno, tidak memiliki pengetahuan tentang mikroorganisme penyebab penyakit. Mereka juga belum mengenal konsep vaksinasi. Jika seseorang dari masa depan, yang mungkin pernah terpapar penyakit seperti COVID-19 yang bahkan beberapa tahun lalu masih menjadi pandemi global yang sangat mematikan, kembali ke masa Majapahit bisa membawa virus yang sangat mematikan bagi mereka.
Contohnya, penyakit seperti smallpox (cacar) telah menyebabkan kematian massal di kalangan penduduk asli Amerika setelah kedatangan orang Eropa. Karena tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut, banyak suku asli Amerika mengalami penurunan populasi yang drastis. Misalnya, pada abad ke-18, sebuah epidemi smallpox di Great Plains menyebabkan lebih dari 17.000 kematian di kalangan penduduk asli Amerika. Beberapa suku, seperti suku Mandan, hampir punah akibat wabah tersebut. (CDC (Centers for Disease Control and Prevention) – “History of Smallpox”).
Jika seseorang dari masa depan membawa virus seperti COVID-19 ke masa Majapahit, tanpa adanya vaksinasi atau kekebalan alami, wabah tersebut bisa menyebar dengan cepat dan menyebabkan kematian massal.
3. Risiko Sosial, Budaya, dan Efek Kupu-Kupu (Butterfly Effect)
Penampilan manusia modern—pakaian, cara bicara, bahkan alat-alat kecil seperti jam tangan atau kacamata—bisa membuat kita dianggap makhluk asing, penyihir, atau pembawa bencana oleh masyarakat Majapahit. Salah langkah sedikit saja, dan kita bisa:
- Ditangkap
- Diadili sebagai penyusup atau makhluk gaib
- Dianggap membawa malapetaka
Lebih dari itu, apa pun tindakan kecil yang kita lakukan di masa lalu bisa menyebabkan efek besar di masa depan—fenomena ini dikenal sebagai Butterfly Effect. Misalnya:
- Memberi saran teknologi kepada tokoh penting
- Menyebabkan kematian atau kelahiran seseorang karena intervensi tidak sengaja
- Membocorkan informasi masa depan
Hal-hal ini bisa mengubah jalannya sejarah secara drastis dan menciptakan paradoks waktu yang tak bisa dikendalikan.
Konsep efek kupu-kupu menjelaskan bagaimana perubahan kecil dalam suatu sistem dapat menyebabkan dampak besar dan tak terduga. Jika seseorang dari masa depan membawa penyakit ke masa Majapahit, dampaknya bisa sangat luas.
Misalnya, jika seorang pedagang atau diplomat dari Majapahit terinfeksi dan kemudian melakukan perjalanan ke kerajaan lain, penyakit tersebut bisa menyebar ke wilayah yang lebih luas. Tanpa pemahaman tentang penyebaran penyakit, tindakan sederhana seperti berjabat tangan atau berbicara dekat bisa menyebabkan wabah yang menghancurkan.
Selain itu, hilangnya banyak penduduk karena penyakit bisa menyebabkan keruntuhan ekonomi, sosial, dan politik. Perdagangan bisa terhenti, struktur pemerintahan bisa runtuh, dan budaya bisa hilang. Ini menunjukkan bagaimana perubahan kecil, seperti membawa penyakit dari masa depan, bisa memiliki dampak yang sangat besar dan tak terduga pada masa lalu.
Dengan mempertimbangkan potensi bencana epidemi dan efek kupu-kupu, dapat disimpulkan bahwa melakukan perjalanan waktu ke masa Majapahit tanpa pemahaman yang mendalam tentang dampaknya bisa sangat berisiko. Penyakit yang tidak dikenal bisa menyebabkan kematian massal, dan perubahan kecil bisa menyebabkan keruntuhan besar dalam peradaban bahkan kepunahan bagi manusia.
Kesimpulan: Time Travel Bukan Sekadar Petualangan
Banyak film dan buku menggambarkan perjalanan waktu sebagai petualangan seru. Namun dalam kenyataannya (atau dalam teori ilmiah sekalipun), melakukan perjalanan ke masa lalu seperti era Majapahit sangat berbahaya. Risiko bahasa, penyakit, gangguan sosial, hingga efek kupu-kupu membuat ide ini lebih cocok jadi bahan fiksi daripada eksperimen sungguhan.
Jika suatu saat teknologi memungkinkan time travel, maka perencanaan, persiapan linguistik, biologis, dan etis harus benar-benar matang. Tanpa itu, manusia masa depan justru bisa menjadi ancaman bagi masa lalu yang mereka datangi.
(dmr)
Komentar