JRMEDIA — Dalam laporan Indeks Inovasi Global (Global Innovation Index) tahun 2023 yang dirilis oleh World 3 Intellectual Property Organization (WIPO) pada November 2023, Indonesia masih berada pada peringkat 61 dari 132 negara di dunia. Meskipun mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, capaian inovasi Indonesia masih kalah dari enam negara lainnya di kawasan ASEAN (Asia Tenggara).
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Aliansi Kebangsaan, rendahnya penguasaan sains dan teknologi Indonesia antara lain disebabkan karena belum terbangunnya ekosistem inovasi nasional yang kondusif bagi pengembangan sains dan teknologi, baik pada aspek regulasi, tatakelola, alokasi sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan.
“Dari sisi kelembagaan, sinergi dan kolaborasi tiga pihak (triple-helix) antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah, dan dunia usaha juga belum menunjukkan kinerja yang memadai,” ujar Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, pada Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Penyusunan Peta Jalan (Road Map) Penguatan Sistem Inovasi Nasional” yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan, Jumat (4/7/2025).
Menurut Pontjo, berlandaskan pada strategi triple helix ini, pengembangan sains dan teknologi tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, melainkan harus ada upaya sinergetik dari semua terutama ketiga pihak tersebut. Sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, perguruan tinggi/lembaga riset, dan industri/dunia usaha, serta pemberdayaan masyarakat sangatlah penting, terutama dalam upaya mendekatkan hasil riset dan inovasi kepada dunia usaha/industri atau masyarakat untuk penerapan, pemanfaatan hingga pemasarannya.
Sampai saat ini, lanjut Pontjo, upaya pemanfaatan hasil riset dan inovasi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga riset/perguruan tinggi masih menghadapi berbagai masalah karena adanya jurang yang sangat lebar antara lembaga riset/perguruan tinggi di satu sisi, dan dunia usaha/industri di sisi lain. “Hasil riset belum sepenuhnya mencapai inkubasi bisnis yang berada di dunia usaha/industri. Lebarnya jurang ini menyebabkan proses ini menjadi fase yang sangat kritis sehingga sering disebut sebagai “Lembah Kematian (Valley of Death)” dari inovasi,” tegas dia.
Pontjo menambahkan, dalam kolaborasi kelembagaan triple helix ini, dunia usaha/industri berperan sebagai pendorong, pengembang, pengguna, sekaligus memasarkan hasil riset dan inovasi teknologi. Dapat dikatakan bahwa dunia usaha/industri sesungguhnya adalah “inkubator pengembangan inovasi dan teknologi”. “Tanpa peran dunia usaha/industri, inovasi teknologi tidak mungkin akan berkembang.”
Pontjo mencontohkan bagaimana Nokia telah menjadi motor inovasi teknologi bagi negara Finlandia dalam mengubah perekonomian yang semula berbasis sumber daya alam menjadi ekonomi berbasis sains dan teknologi. Ini satu bukti begitu strategisnya peran dunia usaha dalam upaya peningkatan penguasaan teknologi.
Pontjo mengingatkan, penguasaan teknologi bagi sebuah bangsa saat ini menjadi sangat penting. Pasalnya, teknologi kini menjadi faktor determinan (determinant factor) bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa agar mampu bersaing di tingkat global. “Bangsa yang mampu memunculkan inovasi-inovasi dalam sains dan teknologi umumnya akan menjadi yang terdepan sekaligus pemandu bagi kehidupan antar-bangsa,” kata dia.
Menurut Pontjo, penguasaan teknologi telah mendorong terjadinya transisi paradigma perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya alam (resource base economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan sains dan teknologi (knowledge base economy). Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan, dan energi untuk peningkatan daya saing dan kesejahteraan umum.
“Model ekonomi berbasis pengetahuan, juga dapat menstimulasi kreativitas dalam penerapan pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kekayaan dan lingkungan alam dapat didayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup suatu bangsa,” jelas Pontjo.
Pontjo menekankan, pada era perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat saat ini, potensi sumber daya alam yang dimiliki sebuah negara tidak menjamin keberhasilan dalam menumbuhkan dan mengembangkan ekonominya secara berkelanjutan. Negara-negara yang telah menjalankan ekonomi berbasis pengetahuan, seperti negara-negara Eropa pada umumnya dan beberapa negara Asia seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan ternyata lebih mampu mensejahterakan rakyatnya daripada negara-negara yang hanya bersandar pada kekayaan sumber daya alam.
Menurut Pontjo, pengusaha sebagai bagian dari masyarakat harus ambil tanggung jawab atas kemajuan sains dan teknologi bangsa ini. Pengusaha Indonesia sudah seharusnya tidak sekadar menjadi “benefit seekers” tetapi juga memiliki tanggung jawab atas kepentingan nasional sebagai wujud dari kewajiban konstitusional “bela negara” atas bangsa dan negaranya. “Sedangkan berbagai insentif atau pemberian fasilitas kegiatan riset, invensi, dan inovasi oleh pemerintah juga belum terasa di kalangan dunia usaha,” cetus dia.
FGD dan podcast dengan tema Penguatan Sistem Inovasi Nasional sudah beberapa kali dilaksanakan oleh Aliansi Kebangsaan. Tema ini kembali diangkat karena saat ini Aliansi Kebangsaan bekerja sama dengan mitra strategisnya sedang menyusun “Peta Jalan Penguatan Sistem Inovasi Nasional” yang akan disampaikan kepada Pemerintah RI sebagai sumbangan pemikiran dari para cendekiawan dalam upaya mengejar ketertinggalan penguasaan teknologi Indonesia.
Adapun narasumber yang hadir dalam FGD tersebut antara lain Laksdya (Purn) Prof. Dr. Ir. Amarulla Octavian (Wakil Kepala BRIN); Prof. Ir. Sri Widiyantoro, Ph.D (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia); Ninasapti Triaswati, Ph.D (akademisi Universitas Indonesia); dan Wendy Aritenang, M.Sc, Ph.D (Ketua CTIS).
(end)
Komentar