Foto: Logo Perusahaan Crunchyroll.
JRMEDIA.ID — Dalam wawancara terbarunya dengan Forbes, CEO Crunchyroll Rahul Purini menegaskan bahwa Crunchyroll tidak memiliki rencana untuk menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam aspek konten kreatif anime termasuk dalam pengisi suara (voice acting) dan pembuatan subtitle.
Crunchyroll adalah layanan streaming video on-demand over-the-top berlangganan Amerika yang dimiliki oleh Sony melalui usaha patungan antara Sony Pictures dan Aniplex dari Sony Music Entertainment Japan. Perusahaan ini berfokus pada distribusi, produksi, dan lisensi anime dan dorama Jepang.
Didirikan pada tahun 2006 oleh sekelompok mahasiswa lulusan Universitas California, Berkeley, saluran distribusi dan program kemitraan Crunchyroll memberikan konten kepada lebih dari 35 juta anggota komunitas daring di seluruh dunia. Crunchyroll adalah anak perusahaan Ellation, bagian dari Otter Media milik WarnerMedia. Crunchyroll memiliki kantor di San Francisco, Chisinau, dan Tokyo, dan merupakan anggota Asosiasi Animasi Jepang (AJA)
Menurut Purini, aktor suara dipandang sebagai bagian penting dari proses kreatif, bukan sekadar penyampai dialog. Mereka dianggap sebagai kreator yang memberikan kehidupan dan jiwa pada karakter, sehingga peran mereka tidak bisa digantikan oleh teknologi.
“Mereka (aktor suara) membantu membentuk cerita dan narasi sebuah seri. Itu adalah kontribusi kreatif yang tidak bisa digantikan,” ungkap Purini.
Pernyataan ini menarik perhatian karena berbeda dari komentarnya tahun lalu dalam wawancara dengan The Verge, di mana Purini sempat menyebut bahwa Crunchyroll berencana menguji AI untuk mempercepat proses subtitle dan transkripsi. Tujuannya kala itu adalah untuk mempercepat rilis global, agar episode dapat dirilis hampir bersamaan dengan penayangan di Jepang—sesuatu yang sangat diinginkan oleh para penggemar.
Namun, tanggapan dari komunitas saat itu cukup negatif. Banyak pengguna media sosial menyuarakan kekhawatiran bahwa penggunaan AI dalam konten anime dapat mengurangi kualitas dan keaslian karya.
Reaksi ini mencerminkan pandangan luas dalam komunitas bahwa anime harus tetap menjadi bentuk seni buatan manusia, bukan hasil otomatisasi. Keaslian, emosi, dan sentuhan personal dari para kreator dianggap sebagai inti dari apa yang membuat anime begitu dicintai.
Kasus penggunaan AI untuk membuat ilustrasi dengan gaya Studio Ghibli, yang sempat viral tahun lalu, turut memperkuat debat ini. Proyek tersebut memicu diskusi panas mengenai hak cipta, orisinalitas, dan nilai seni autentik di era AI.
(dmr)
Komentar