Oleh Mila Muzakkar *)
“Anak muda bisa apa?” Pertanyaan itu sekarang udah basi. Udah nggak laku.
Faktanya, suara, pemikiran, dan gerakan kolektif anak muda justru yang paling sering mengguncang dunia. Dari media sosial sampai jalanan, anak muda-lah yang jadi motor perubahan.
Ini bukan cerita baru. Tahun 2018, Greta Thunberg, remaja di Swedia, memelopori gerakan Fridays for Future. Dari aksi duduk sendirian di depan parlemen, gerakan itu meledak jadi gelombang global, memaksa pemimpin dunia untuk serius ngomongin krisis iklim.
Di Iran, tahun 2022, kematian Mahsa Amini melahirkan protes besar-besaran. Mahasiswa dan anak muda turun ke jalan, melawan penindasan, menuntut kebebasan perempuan.
Gimana dengan Indonesia? Wah, panjang ceritanya. Mari kita kulik sejarahnya.
Tahun 1908, lahir Boedi Oetomo. Anak-anak muda ini ngumpul berdiskusi kritis dan melawan kolonialisme. Dari situlah api perlawanan makin membesar.
Lanjut ke 1928, muncul Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Mereka yang memprakarsai Kongres Pemuda, melahirkan Sumpah Pemuda, yang sejak kecil kita hafalin di sekolah. Tiga kata yang bikin bangsa ini berdiri tegak sampai hari ini: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.
Trus, ke 1998. Mahasiswa turun ke jalan, menggetarkan kursi kekuasaan Soeharto yang udah lebih dari 30 tahun nggak ada yang berani sentuh, kayak mustahil untuk dijatuhkan.
Reformasi lahir dari perut lapar, dari amarah yang nggak bisa lagi ditahan.
Dan hari ini, Agustus–September 2025, kita melihat babak baru. Mahasiswa, influencer, netizen, semua bersuara. Dari timeline sampai jalanan, protes membesar.
Apa Hasilnya? Memang belum sepenuhnya memuaskan, tapi ada tanda baik: gaji DPR dipangkas dari ratusan juta ke Rp 65 juta/bulan-Which is ini masih gede banget sih–beberapa anggota DPR dicopot, bahkan ada yang mundur dengan tidak hormat.
Aku dan tim Generasi Literat, juga bikin konten tentang usulan “Syarat Menjadi Anggota DPR”. Hampir ratusan netizen kasih komen mendukung, juga memberi usulan tambahan lainnya.
Suara kita nyampe, guys! Buktinya nyata.
Contoh lain, musisi indie (yang juga banyak anak muda) ramai-ramai mundur dari acara Pestapora, gara-gara sponsornya, PT Freeport, dianggap merusak lingkungan. Tekanan publik nggak bisa dibendung. Panitia akhirnya mendepak Freeport dari daftar sponsor. Anak muda lagi yang menang.
Apa arti semua ini? Demokrasi kita masih punya harapan. Kita lihat jelas, anak muda nggak lagi jadi penonton. Mereka bergerak, berpikir, dan berani melawan.
Tapi anak muda yang kayak gimana, dan yang berisik dengan cara gimana? Bukan semua anak muda, memang. Karena ada juga anak muda yang dulu paling keras teriak “reformasi!” tapi begitu dapat “jatah”, langsung anteng kayak bayi yang dininabobokkan.
Yang aku maksud anak muda di sini adalah mereka yang berani berisik secara konsisten di media sosial, juga di jalanan, mengerti kenapa harus berisik, untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Yang berani kehilangan followers dan pemasukan karena menolak endorse jadi buzzer. Yang siap mental ketika keluarganya diancam oleh penguasa.
Kalau di Indonesia, contohnya Tan Malaka atau Bung Hatta. Mereka berani hidup super sederhana, nggak kompromi sama penguasa culas, dan konsisten dengan perjuangannya.
Soekarno pernah bilang: “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.”
Kalau aku sekarang mau bilang: “Beri anak muda akses, ruang, dan kesempatan yang maksimal untuk belajar dan berkarya, maka mereka akan menciptakan perubahan yang nyata.”
Jadi buat anak muda hari ini, jangan merasa “Generasi remah rengginang” ya. Sejarah udah mencatat, kata-kata, karya, atau gerakan kita bisa mengubah situasi. Dari meme bisa lahir revolusi. Dari timeline bisa tercipta sejarah.
Ini zaman kita. Bukan lagi zamannya orang-orang tua yang sibuk flexing, mabuk kuasa, nggak punya empati, dan lupa kalau kayak harta dan kekuasannya nggak bisa nemenin di kuburan nanti.
Ini zaman kita. Zaman generasi berisik, generasi yang nggak bisa dibungkam. Generasi yang pakai jempolnya buat ngetik kebenaran, pakai suaranya buat melawan ketidakadilan, dan pakai kakinya buat turun ke jalan, kalau keadaan udah kebangetan.
Kita mungkin sering diremehkan: dianggap terlalu muda, terlalu emosional, malas, atau cuma bisa bikin ribut di medsos. Tapi justru dari “ribut” itulah lahir gelombang perubahan.
Jadi jangan pernah berhenti bersuara dan bikin karya. Jangan pernah berhenti bikin gaduh di ruang publik. Karena dari gaduh itu, lahir sejarah baru.
Kita adalah generasi yang bergerak. Generasi berisik, generasi pemenang.
8 September 2025
*) Pegiat Literasi AI & Founder Generasi Literat.
Komentar