Opinion
Beranda » Berita » Berpuasa di Hari Tegaknya Kebenaran

Berpuasa di Hari Tegaknya Kebenaran

M Rubiul Yatim. (Foto: Istimewa)

Oleh M Rubiul Yatim *)

Pertarungan antara kebenaran (al haq) dan kejahatan (al batil) akan terus terjadi tanpa kenal henti. Perseteruan antara keadilan dan kezaliman akan selalu berlangsung tanpa ada jeda. Perselisihan antara kebaikan dan keburukan akan senantiasa berkibar tanpa kenal damai.

Mengapa itu terjadi? Jawabannya adalah karena itu adalah pilihan hidup yang harus ditempuh yaitu antara menjadi pengikut Tuhan atau menjadi pengikut setan atau antara menjadi pejuang hati nurani atau menjadi pemuja hawa nafsu. Pada setiap sisi dari dua jalan hidup tersebut, masing-masingnya tentu ada penggawanya.

Representasi pertarungan abadi itu dapat dibaca dalam rekam jejak perjuangan antara Nabi Musa dengan Raja Firaun, Nabi Ibrahim dengan Raja Namrud, Nabi Nuh dengan pembesar kaumnya, Nabi Muhammad dengan kafir Quraisy, dan semua kisah nabi dan rasul lainnya. Hal itu akan terus berlangsung pada semua level di bawahnya dan berlanjut tanpa henti hingga saat tiba datangnya akhir dari kehidupan yaitu hari kiamat.

Jalan Tuhan adalah jalan yang harus diperjuangkan. Kebenaran yang ada di dalamnya harus diikhtiarkan untuk dapat mewujudkannya. Pengorbanan dan penderitaan di dalam menempuh jalan itu merupakan satu bentuk pembuktian akan kesejatian orang-orang yang berada di dalam barisannya.

Gajah dan Semut

Umumnya jalan Tuhan tidak memiliki fasilitas dan sarana prasarana yang gemerlap serta gegap gempita duniawi seperti halnya jalan setan. Hal ini dikarenakan jalan Tuhan yang ditempuhnya itu membutuhkan sikap ikhlas dan tawakal yang tinggi serta murni hanya terhadap Sang Pemilik Jalan yaitu Allah Azza wa Jalla.

Pada saat jalan setan yang penuh kebatilan telah menggunakan segala fasilitas dan sarana prasarana duniawi yang dimilikinya hingga melampaui batas dan mencapai puncak kezalimannya, maka Tuhan pun pasti akan mengambil alih ikhtiar perjuangan dari para penegak kebenaran. Bantuan dan pertolongan yang tidak bisa dipahami oleh akal manusia akan turun atas kehendakNya dan tentunya tidak akan bisa dikalahkan oleh para pengikut jalan setan.

Itulah yang terjadi pada peristiwa berdirinya dinding gaib di tengah laut merah yang menyelamatkan Nabi Musa dan pengikutnya dari kejaran Raja Firaun dan bala tentaranya. Itulah yang terjadi pada peristiwa tidak terbakar dan hangusnya tubuh Nabi Ibrahim walau sehelai rambut pun ketika dipanggang di atas tumpukan kayu yang menggunung oleh Raja Namrud dan pasukannya. Itulah yang terjadi pada perahu kayu Nabi Nuh yang tidak tenggelam ketika datang air bah yang turun deras dari atas langit dan memancar dari dalam bumi tanpa henti hingga menenggelamkan seluruh daratan.

Semua hari kebahagiaan dan keselamatan bagi para pejuang dan pahlawan kebenaran itu terjadi pada tanggal yang sama yaitu tanggal 10 Muharram. Hari kemenangan tersebut merupakan hari pembuktian atas eksistensi Allah SWT yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa di alam semesta ini.

Hari bersejarah atas kebenaran dan kebesaran Tuhan itu dijadikan momentum rasa syukur dan bahagia oleh Nabi Musa dengan cara menjalankan ibadah puasa. Hal ini yang kemudian diikuti dan dilaksanakan pula oleh Nabi Muhammad SAW sebagai bagian dari nabi dan rasul yang merupakan gerbong panjang dari estafet pejuang kebenaran.

Rekomendasi Komisi XI DPR Terkait SE OJK No 7/2025 Ambigu

Nabi Muhammad SAW bahkan menyampaikan informasi sekaligus motivasi bahwa bagi orang yang memahami konteks keutamaan hari kebenaran dan kemenangan itu lalu turut berpuasa di dalamnya maka akan diampuni dosanya setahun yang lalu. Berikut petikan hadis mengenai keutamaan puasa Asyura atau 10 Muharram:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صِيَامٍ يَوْمٍ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةً. (رواه مسلم)

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Qatadah ra: bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang keutamaan puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: ‘Puasa Asyura melebur dosa setahun yang telah lewat.” (HR Muslim)

Adapun untuk tahun 1447 H ini, tanggal 10 Muharram jatuh pada hari Ahad, 6 Juli 2025. Namun agar berbeda dengan orang Yahudi yang pongah mengeklaim kebenaran ada di atas jalannya, maka Nabi Muhammad SAW menganjurkan agar puasanya ditambah satu hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 9 Muharram atau hari Sabtu, 5 Juli 2025. Ulama bahkan menganjurkan untuk berpuasa satu hari sesudahnya, yaitu pada tanggal 11 Muharram atau hari Senin, 7 Juli 2025.

Silakan ambil yang sanggup kita kerjakan namun paling minimal berpuasalah di tanggal 10 Muharram. Tentunya sambil menghayati bahwa pada hari itu dan pada hari-hari lainnya, setiap kebenaran di jalan Tuhan pasti akan menunjukkan eksistensi kemenangannya.

HUT Bhayangkara 1 Juli 2025, Polri Lebih Baik Fokus pada Lingkup Tugas Utama

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kita taufik dan hidayah agar senantiasa tetap berada di jalanNya hingga ruh terlepas dari tubuh yang fana ini. Harapannya melalui puasa dan penghayatan perjuangan kebenaran akan membawa rida Tuhan untuk kita di dunia dan di akhirat.

Firman Allah SWT:

{ وَقُلۡ جَآءَ ٱلۡحَقُّ وَزَهَقَ ٱلۡبَٰطِلُۚ إِنَّ ٱلۡبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقٗا }

Artinya: “Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap.” (QS Al Isra ayat 81)

Jakarta, 5 Juli 2025

*) Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Pancasila dan Anggota Koprs Mubaligh Khairu Ummah.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *