Oleh M Rubiul Yatim *)
Kita pernah mendengar pepatah yang berbunyi: “Gajah di pelupuk mata tidak tampak namun semut di seberang lautan tampak.” Pepatah ini sangat populer di tengah masyarakat dan terasa akrab serta dekat dengan keseharian kita.
Pepatah di atas menggambarkan kondisi seseorang yang pandainya hanya mencari keburukan, kesalahan, dan kelemahan orang lain saja. Adapun di sisi yang berbeda, orang yang pandai menilai orang lain itu tidak mampu dan lengah untuk membaca keburukan, kesalahan, dan kelemahan dirinya sendiri.
Orang dengan tipikal pepatah ini, aktivitas dan kesibukannya adalah selalu memindai kekurangan dan cela orang-orang yang ada disekitarnya. Tujuan utamanya adalah untuk menjadikannya sebagai bahan dan materi pembicaraan (gibah) yang sangat menyenangkan bagi dirinya untuk disampaikan pada orang lain.
Ibarat makanan, maka aib orang lain hasil dari pencariannya itu merupakan santapan lezat yang akan disajikan di atas meja untuk disantap penuh semangat oleh orang-orang yang ada di sekeliling (cyrcle) dirinya. Aib itu menjadi hidangan utama dalam setiap jamuan pertemuan di setiap kesempatan yang ada.
Tidak peduli apakah nanti dampak dari penyebaran aib itu akan memberikan pengaruh buruk atau negatif bagi kehidupan orang yang di targetnya. Namun yang jelas kepuasannya adalah ketika dirinya mampu mencari dan mengungkap keburukan orang lain.
Di sisi yang berbeda, si pencari aib itu lupa dan lalai kalau dirinya sendiri juga memiliki cela dan noda dalam kehidupan. Apabila digali dan diurai, boleh jadi aib dirinya bahkan jauh lebih besar dan lebih banyak dari orang yang dibicarakannya. Bilangan keburukan dirinya tidak pernah diperhatikan dan dinilai oleh mata lahir dan mata batinnya dikarenakan dirinya selalu dipenuhi keinginan untuk menghitung dan menguak keburukan orang lain.
Orang dengan model pepatah gajah dan semut ini, selalu menghabiskan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menggali dan mengorek kelemahan orang lain dan melupakan kelemahan dirinya sendiri. Baginya, dirinya adalah manusia sempurna tanpa cela dan bersih dari noda sehingga perhatian utamanya adalah mencari bahan keburukan orang lain.
Sungguh perilaku ini sangatlah memprihatinkan, oleh karena kelak di akhirat setiap manusia tidak akan dimintai pertanggung-jawaban tentang diri orang lain tetapi justru akan dimintai pertanggung-jawaban tentang dirinya sendiri. Segala perilaku dan perbuatan dirinya itulah yang akan dihisab dan dihitung lalu dimintai pertanggung-jawaban. Adapun perilaku dan perbuatan orang lain tidak akan pernah dimintai pertanggung-jawabannya oleh Allah SWT.
Hal ini sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Al Baqarah ayat 134 yang berbunyi:
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُم مَّا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْـَٔلُونَ عَمَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Artinya: “Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.”
Ayat ini mengingatkan kita untuk senantiasa menyibukkan diri dengan keburukan, kekurangan, dan kelemahan diri sendiri. Oleh karena memang diri ini harus diakui banyak sekali kelemahan dan kekurangannya.
Tujuan utama dari penggaliannya itu adalah agar dapat segera memperbaiki kesalahannya selagi masih ada kesempatan. Menjadi pribadi terdepan yang selalu insaf dan tobat ketika masih ada napas di dunia ini.
Mengapa memindai diri itu perlu dilakukan secara rutin dan berkala? Oleh karena cela dan noda yang ada pada diri kita itu selalu saja dilakukan baik disengaja maupun tidak. Kesalahan yang tidak diperbaiki justru akan memberikan dampak buruk di dunia dan kemalangan besar di akhirat.
Kelalaian membaca aib buruk diri sendiri di dunia akan membawa dirinya pada perilaku sombong dan takabur karena merasa diri paling bersih dan suci. Selain itu, akan melahirkan berbagai keributan dan permusuhan dikarenakan selalu mengorek dan mengumbar aib orang lain.
Adapun dampak buruk di akhirat adalah beratnya beban dosa yang dipikul karena hobinya selalu menggali aib orang lain dan dibukanya seluruh aib dirinya tanpa terkecuali oleh Allah Azza wa Jalla. Selain dipermalukan di padang mahsyar di hadapan semua manusia dan penduduk langit atas aibnya, maka dirinya juga akan dijebloskan ke dalam api neraka yang menyala.
Renungilah firman Allah SWT dalam surat Al Hujurat ayat 11-12, yang berbunyi:
{ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا یَسۡخَرۡ قَوۡمࣱ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰۤ أَن یَكُونُوا۟ خَیۡرࣰا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَاۤءࣱ مِّن نِّسَاۤءٍ عَسَىٰۤ أَن یَكُنَّ خَیۡرࣰا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلۡأَلۡقَـٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِیمَـٰنِۚ وَمَن لَّمۡ یَتُبۡ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
{ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱجۡتَنِبُوا۟ كَثِیرࣰا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمࣱۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا یَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَیُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن یَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِیهِ مَیۡتࣰا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابࣱ رَّحِیمࣱ }
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, Sungguh, Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.”
Semoga Allah Azza wa Jalla menyadarkan diri kita untuk selalu sibuk dengan menggali aib dan kekurangan diri kita sendiri. Harapannya tentu agar Allah SWT mengampuni segala dosa kesalahan serta menutup aib kita di dunia dan akhirat.
Jakarta, 3 Juli 2025
*) Akademisi yang terkait dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Pancasila. Ia juga menjabat sebagai Ketua Lajnah Dirosat wal Buhuts DSW PKS DKI Jakarta. Selain itu, ia tercatat sebagai dosen tetap S1 Akuntansi di Universitas Pancasila.
Komentar